Pembahasan kemaksuman para nabi tidak bisa dipisah dengan sifat amanah. Keduanya satu, tidak bisa dipilah. Sebab sifat ‘Ismah (maksum) bermuara dari sifat amanah.
Memaknai sifat ‘Ismah, Imam al-Jurnani mengartikan sebagai potensi diri yang mencegah para nabi melakukan maksiat, meskipun mampu melakukannya. Adapun sifat amanah bagi nabi menandakan seorang nabi terjaga dari perbuatan menyimpang, baik secara zahir maupun batin. Mereka terjaga dari perbuatan tercela secara zahir, seperti mencuri, berzina, dll, juga terjaga dari sifat tercela secara batin (af’alul-kalbi), seperti riya’, sombong, dan semacamnya.
Oleh karena itu, nabi tidak mungkin mengerjakan apapun kecuali atas perintah Allah. Jika ada golongan menyebut bahwa nabi melakukan hal yang melanggar syariat, maka seakan ia mengatakan bahwa Allah memerintah umat-Nya untuk menuruti perilaku tercela nabi tersebut, sedangkan itu mustahil.
Terkait sifat ‘Ismah, ada silang pendapat antar ulama. Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi memiliki sifat ‘Ismah sejak dilahirkan, sebagian ulama lain mengatakan sifat tersebut ada setelah diangkat menjadi nabi.
Khilaf lain yang masih dalam cakupan sifat ‘Ismah; apakah para nabi terhindar hanya dari dosa besar ataupun juga terhindar dari dosa kecil. Permasalah ini bisa ditanggapi dengan penuturan Imam al-Jubbai di kitab Aunul-Murit ala Jauharutit- Tauhid, hlm. 732, bahwa ulama sepakat para nabi terhindar dari dosa besar. Untuk melakukan dosa kecil, para nabi dimungkinkan melakukannya, tetapi perbuatan tersebut tidak membuat umatnya berpaling.
Syekh Ibrahim bin Muhammad menyebutkan, nabi boleh melakukan hal makruh dan hal yang bersifat khilaful-aula. Dalam perilaku ini, nabi sebatas menunjukkan kepada umatnya bahwa pekerjaan tersebut tidak diharamkan dalam syariat Islam. (Lihat Tuhafatul-Murid ‘Ala Jauharutit-Tauhid, hlm. 156)
Dalam kitab Fathul-Bari disebutkan, golongan Asyairah memperbolehkan perilaku dosa kecil sebelum kenabian, baik sengaja ataupun tidak. Adapun golongan Maturidiyah, tidak memperbolehkannya secara mutlak.
Syekh Muhammad ad-Dasuki mengatakan, nabi tercegah dari segala perbuatan makruh ataupun haram, perilaku yang berdampak dosa besar ataupun dosa kecil, baik sebelum kenabian atau setelahnya, disengaja atau tidak. Kecuali kemaksiatan yang dilakukan nabi dalam keaadan lupa yang hakikatnya menjelaskan syariat.
Keadaan lupa di atas seperti yang pada Nabi Muhammad; keluar dari salat sebelum menyempurnakannya. Jika dipandang secara zahir perilaku tersebut merupakan sebuah kemaksiatan, tetapi Nabi Muhammad melakukannya dalam keadaan lupa yang hakikatnya menjelaskan hukum-hukum bagi orang yang lupa ketika melaksanakan salat sebelum sempurna. (Lihat Hasyiah ad-Dasuki ‘Ala Ummil-Barahin, hlm. 173)
Dari paparan di atas bisa kita pahami, bahwa setiap pekerjaan atau perkataan para nabi yang mengarah pada kemaksiatan harus dikaji terlebih dahulu. Jika berupa sebuah riwayat maka lihat, apakah riwayat tersebut dapat diterima atau tidak. Jika riwayat tersebut tertera dalam Al-Qur’an ataupun hadis Sahih maka harus ditakwil dengan “حَسَنَة الْأَبْرَارِ سَيِّئَة الْمُقَرَّبِيْنَ”, yakni pekerjaan baik dari orang yang berada dalam maqam abrar bisa menjadi pekerjaan jelek jika dilakukan oleh orang yang mencapai maqam muqarrabin.
Contoh takwil di atas seperti keadaan Nabi Adam ketika melangar perintah Tuhannya. Allah berfirman:
وَيَا آدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ فَكُلَا مِنْ حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (Allah berfirman ) wahai Adam, tinggallah engkau bersama istrimu dalam surga dan makanlah apapun yang kau sukai, tetapi janganlah kamu berdua dekati pohon yang satu ini. (Apabila didekati) kamu berdua termasuk orang-orang yang zalim”. (Qs. Al-A’raf; 19)
Menurut Syekh Ibrahim al-Bajuri, perilaku Nabi Adam yang membuatnya dikeluarkan dari surga seperti tertera di atas ialah berupa maksiat yang tidak seperti maksiat (معصية لا كالمعاصي). Beliau menakwil pristiwa tersebut, bahwa ada perintah yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi Adam secara rahasia yang tidak diketahui mahluk.
Syekh Ibrahim al-Bajuri menukil perkatan Syekh Abi Madyan: “Andai kata kamu yang berada dalam posisi Nabi Adam niscaya kamu akan menghabiskan buah dari pohon tersebut.” Oleh karena itu, meski secara zahir Nabi Adam dilarang memakan buah tersebut, sejatinya ia diperintah untuk melakukannya secara batin. (Lihat Tuhfatul-Murid, hlm.156).
Ghazali Ali | Annajahsidogiri.id
Comments 0