Sebagai seseorang yang aktif bergelut di dalam akidah, tentunya sudah tidak asing bagi kita nama ulama yang satu ini, salah satu ulama yang yang berhasil mengembalikan ajaran Ahlusunah sebagai ajaran yang murni. Beliau bernama lengkap Abul-Hasan Ali bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal Bin Abi Burdah Amir bin Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari. Beliau akrab dipanggil dengan Imam Asy’ari. Bagi Ahlusunah, beliau merupakan guru sekaligus imam dalam ilmu kalam.
Nama al-Asy’ari merupakan nisbat pada Asy’ar, nama seorang laki-laki dari suku Qathan yang kemudian menjadi nama suku dan seorang laki-laki itu tinggal di Yaman. Lahir di kota Bashrah pada tahun 260 H bertepatan dengan dengan tahun 873 M.
Pada mulanya, Imam Asy’ari mengikuti akidah guru sekaligus ayah tirinya, Imam Ali al-Jubba’i seorang tokoh Muktazilah, hingga berumur empat puluh tahun, kemudian beliau bergabung dengan Ahlusunah dan menjadi pembela.
Setidaknya ada dua hal yang menjadi penyebab beliau pindah dari Muktazilah menuju Ahlusunah. Pertama, karena ketidakpuasan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari terhadap ideologi Muktazilah yang terkesan selalu mendahulukan akal dan tak jarang sering menemukan jalan buntu dan mudah dipatahkan dengan argumentasi akal yang sama.
Ketidakpuasan itu bisa dilihat dari beberapa hal, di antaranya menurut riwayat yang mengatakan bahwa sebelum Imam Asy’ari keluar dari aliran Muktazilah beliau tidak keluar rumah selama 15 hari. Lalu pada hari Jumat setelahnya beliau keluar rumah dan mendatangi masjid jamik dan naik mimbar seraya berpidato, “Sebenarnya saya telah menghilang dari kalian selama lima belas hari, selama itu saya meneliti dalil-dalil yang ada. Ternyata saya menemukan jalan buntu, dalil yang satu tidak lebih kuat dari dalil yang lain. Kemudain saya memohon petunjuk kepada Allah dan Allah memberikan petunjuknya kepadaku untuk menyukuri apa yang saya tulis dalam beberapa kitab ini. Mulai saat ini saya mencabut semua ajaran yang selama ini aku yakini.”
Kemudian Imam Asy’ari menyerahkan beberapa kitab yang ditulisnya sesuai dengan mazhab Ahlusunah kepada masyarakat di sana. Di antaranya adalah kitab yang memaparkan kerancuan paham Muktazilah yang berjudul Kasyful-Astâr wa Hatkul-Asrâr, al-Luma‘ fir-Raddi ‘alâ Ahliz-Zayghi wal-Bida‘ dan kitab lainnya. Setelah membaca kitab-kitab beliau, para ulama fikih dan hadis pun mengakui akan kehebatan Imam Asy’ari, dan kemudian menjadikannya sebagai panutan.
Ketidakpuasan itu juga bisa dilihat dari riwayat mengisahkan perdebatan Imam Asy’ari dengan guru sekaligus ayah tirinya Imam Ali al-Jubba’i.
Kedua, kerana beliau bermimpi bertemu Nabi. Suatu ketika, pada awal Ramadan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari tidur lalu bermimpi bertemu Rasulullah. Rasulullah bersabda: “Wahai Ali, tolonglah pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu benar.” Setelah terjaga, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari merasakan mimpi itu sangat berat dalm pikirannya. Beliau terus memikirkan apa yang dialaminya dalam mimpi.
Pada pertengahan bulan Ramadan Imam Asy’ari bertemu Rasulullah untuk kedua kalinya. Rasulullah bersabda: “Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?” Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari menjawab, “Aku telah memberikan pengertian yang benar terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan darimu.” Rasulullah berkata: “Tolonglah pendapat-pendapat yang diriwayatkan dariku, karena itu yang benar.” Setelah terbangun, Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari merasa terbebani dengan mimpi itu. Sehingga, beliau bermaksud untuk meninggalkan ilmu kalam. Beliau akan lebih memilih fokus menekuni hadis dan terus membaca Al-Qur’an.
Namun, pada tanggal 27 Ramadan, tidak seperti biasanya, rasa kantuk begitu berat menghinggapnya, sehingga membuat Imam Asy’ari tertidur. Setelah terjaga, beliau merasa menyesal, karena meninggalkan kebiasaannya tidak tidur malam untuk beribadah kepada Allah.
Ternyata, dalam tidur itu beliau kembali bermimpi bertemu Rasulullah saw untuk kesekian kalinya. Rasulullah bersabda: “Apa yang kamu lakukan dengan perintahku dulu?” Imam Asy’ari menjawab, “Aku telah meninggalkan ilmu kalam, dan memilih fokus menggeluti ilmu Al-Quran dan hadis.” Rasulullah bersabda: “Aku tidak memerintahmu meninggalkan ilmu kalam, tapi aku hanya menyuruhmu menolong apa yang diriwayatkan dariku karena itu yang benar.” Imam al-Asy’ari menjawab, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin aku meninggalkan mazhab yang telah aku ketahui dalil-dalilnya sejak tiga puluh tahun yang lalu hanya karena mimpi?” Nabi bersabda: “Andaikan aku tidak tahu bahwa Allah akan menolongmu dengan pertolongan-Nya, tentu aku menjelaskan kepadamu semua jawaban masalah-masalah ajaran muktazilah itu. Bersungguh-sungguhlah dalam masalah ini, Allah akan menolongmu dengan pertolongan-Nya.”
Setelah terjaga dari tidurnya Imam Asy’ari berkata, “Selain kebenaran pasti kesesatan.” Lalu Imam Asy’ari mulai membela hadis-hadis yang berkaitan dengan syafaat, melihat Allah di akhirat, dan sebagainya. Dan, setelah itu Imam Asy’ari mampu menjelaskan kajian-kajian tentang hal itu disertai dalil-dalil yang belum pernah dipelajari dari seorang guru, dan sulit dibantah oleh lawan serta belum pernah dibacanya dalam suatu kitab.
Syaiful Arif | Annajahsidogiri.id
Referensi:
Ibnu Asakir, Tabyînu Kidzbil-Muftarî
As-Subki, Thabaqatusy-Syâfi‘iyyah al-Kubrâ