Pencarian kebenaran menggunakan akal telah banyak menyedot perhatian dari para pakar teologi dan filsafat pada abad pertengahan di Eropa. Akal memang salah satu sarana untuk menggapai kebenaran. Namun, sebagaimana makhluk lain, kemampuan akal tidaklah unlimited. Ada batas dan area tertentu yang tidak boleh bahkan memang tidak dapat digapai oleh akal.
Allah memiliki dua jenis utusan pada makhluknya. Pertama adalah utusan dari dalam diri, yaitu akal. Kedua adalah utusan dari luar yaitu para utusan Allah. Tidak ada seorang pun yang memperoleh manfaat dari para utusan Allah jika ia belum memperoleh manfaat dari utusan batin (akal).[1]
Akal juga merupakan salah satu landasan argumentasi yang dipakai oleh ulama kalam untuk membantah pendapat ahli bidah. Dalam konteks ini, al-Imam al-Ghazali mengatakan:
وَأَهْلُ النَّظَرِ فِي هَذَا الْعِلْمِ يَتَمَسَّكُونَ أَوَّلًا بِآيَاتِ اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الْقُرْآنِ ثُمَّ بِأَخْبَارِ الرَّسُولِ ثُمَّ بِاالدَّلَائِلِ الْعَقْلِيَّةِ وَالْبَرَاهِينِ الْقِيَاسِيَّةِ
“Ahli nazhar (nalar)dalam ilmu akidah ini pertama kali berpegangan dengan ayat Al-Qur’an, kemudian hadis Rasulullah dan terakhir dengan dalil rasional dan argumentasi analogis.”[2]
Kaitan erat antara agama dan akal, menimbulkan banyak perbedaan pendapat dalam menyikapinya. Dalam kalangan muslim, pembahasan terkait akal melahirkan tiga kelompok yang masing-masing mereka memiliki pandangan sendiri-sendiri.[3] Perbedaan di antara ketiganya itu berkisar pada porsi akal yang difungsikan dalam pencarian kebenaran. Sebab dalam Islam, untuk mencapai kebenaran, juga perlu melibatkan wahyu yang datang dari Tuhan, selain juga menggunakan akal dan panca indra. Kelompok yang dimaksud adalah:
1- Muktazilah
Pendapat mereka cenderung ekstrem kiri yang terlalu mendewakan akal sehingga rela untuk menabrak dalil nas yang sudah definitif. Dalam perspektif mereka, hal yang dapat diterima oleh akal adalah perkara hak yang harus diikuti dan dipegang. Sedangkan hal yang bertentangan dengan akal adalah perkara batil yang harus dibuang sejauh mungkin.
2- Hasyawiyah
Sekte ini memiliki pandangan yang bertolakbelakang dengan Muktazilah. Dalam memahami nas-nas syariat, mereka cenderung jumud dan tekstualis. Mereka tidak memberi peran apapun terhadap akal untuk men-support hakikat-hakikat yang bersumber dari syariat. Anggapan seperti ini juga salah. Tak seorang pun berani mengucapkannya kecuali orang bodoh dan para pemalas.
Ketiga adalah aliran Ahlusunah wal Jamaah. Perspektif kelompok ini menempati posisi tengah-tengah antara kedua kelompok di atas. Sikapnya moderat (tawasut) dan seimbang (tawazun); tidak jumud dalam memahami nash-nash syariat juga tidak liar dalam menggunakan akal.
Dengan sikap ini pula, al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari merumuskan akidah Ahlusunah wal Jamaah. Metode yang digunakan oleh beliau ialah: pertama, menetapkan segala keyakinan yang berasal dari Al-Qur’an dan hadis seperti sifat-sifat Allah dan para rasul-Nya, hari Kiamat, malaikat, perhitungan amal, siksa, dan pahala. Kemudian, setelah itu, membenarkan dan menguatkannya secara akal dengan argumentasi logika yang dipakai oleh kaum Muktazilah.[4]
Baca Juga: Telaah Cabang-cabang Muktazilah
Al-Imam al-Asy’ari tidak menjadikan akal sebagai otoritas tertinggi dalam memahami nas, melainkan menjadikannya sebagai pelayan (khâdim) nas syariat untuk memperkuatnya. Dalam merumuskan akidah, Al-Imam al-Asy’ari juga menggunakan pendekatan dalil-dalil filsafat dan permasalahan logika yang ditekuni oleh para filsuf dan pakar mantik. Hal tersebut tidak lain karena beberapa faktor yang melatarbelakangi, di antaranya:
Pertama, beliau adalah mantan pembesar Muktazilah dan terdidik dengan pendidikannya yang kemudian teori-teori itu membekas pada diri al-Imam al-Asy’ari. Sehingga, dengan hal itu, beliau mengaplikasikan teori tersebut dalam berargumen untuk mendukung akidah-akidah dalam Al-Qur’an. Namun, meski demikian, al-Imam al-Asy’ari tidak menggunakan cara pandang Muktazilah yang terlalu menuhankan akal dalam memahami nas syariat.
Kedua, perumusan akidah Ahlusunah wal Jamaah yang dilakukan oleh Al-Imam al-Asy’ari ketika terjadi mihnah kubrâ yang kedua, yaitu munculnya paham Muktazilah. Maka sebab itu, al-Imam al-Asy’ari juga perlu melakukan konfrontasi terhadap sekte menyimpang yang berkembang saat itu. Dengan demikian, maka perlu untuk mengikuti cara mereka dalam beradu argumen agar bisa mengalahkan dan memberantas syubhat-syubhat yang mereka sebarkan serta memutarbalikkan hujah kepada mereka.
Baca Juga: Sekte Ibadiyah; Pecahan Khawarij yang Menyamar
Faktor ketiga adalah respons counter al-Imam al-Asy’ari terhadap golongan filsuf, Batiniyah, dan sesamanya. Tak satu pun dalil dapat membungkam pendapat mereka kecuali argumentasi logika. Sebab itulah, beliau memakai logika mereka untuk menguak, menjawab, dan membantah paham nyeleneh mereka.
Kesimpulannya, metode tepat yang digagas oleh al-Imam al-Asy’ari untuk kelompok moderat (yang kelak bernama Ahlusunah wal Jamaah) telah menjalani tempat yang semestinya; tidak mengebiri fungsi akal dan tidak melampaui batas dalam menggunakan rasio, karena watak akal adalah mengikuti hawa nafsu yang sesat lagi menyesatkan. Namun, jika dibarengi dengan syariat, ia akan dapat membedakan antara nafsu yang menyesatkan dan petunjuk (hidayah) yang dengannya bisa terjaga dari kesalahan dan kekhilafan.[5] Wallahu a’lam.
A Daniyal Mawardi | Annajahsidogiri.id
[1] Imam ar-Raghib al-Ishfahani, adz-Dzarî‘ah Ilâ Makârimisy-Syarî‘ah.
[2] Abu Hamid al-Ghazali, ar-Risâlah al-Ladunniyyah (Majmû‘u Rasâilil-Imâm al-Ghazâlî), hlm. 224.
[3] Dr. Djalal Muhammad Musa, Nasy’atul-Asy‘ariyyah wa Tathawwuruha, hlm. 195.
[4] Dr. Sa’id Ramadhan al-Buti, al-Madzâhib at-Tauhîdiyyah wal-Falsafah al-Mu‘âshirah, hlm. 115. Dan al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul Mazahib al-Islamiyah, hlm. 170-171.
[5] Dr. Djalal Muhammad Musa, Nasy’atul-Asy‘ariyyah wa Tathawwuruha.