Sebagian besar jamaah di Indonesia membaca al-Quran meniatkan pahalanya dihadiahkan kepada anggota keluarga: baik saudara, kerabat, atau sanak famili yang telah meninggal dunia. Hal ini biasanya dalam acara yasin dan tahlil serta saat berziarah. Dalam pelaksanaannya, para jamaah dipimpin oleh seseorang untuk membaca al-Fātiḥah yang dikhususkan untuk mayit, kemudian dilanjutkan dengan bacaan yang hendak dihadiahkan berupa al-Quran, zikir, salawat, dsb.
Menurut Salafi-Wahabi
- Mengirim Bacaan al-Quran kepada Mayit Bidah
Menurut Salafi, membaca al-Quran dengan berniat pahalanya untuk orang yang sudah meninggal adalah bidah serta pahalanya tidak sampai. Syekh ʻAbdul ʻAzīz bin Bāz berfatwa:
إِهْدَاءُ الْقُرْآنِ سِرًّا أَوْ جَهْرًا لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ ، وَالْعِبَادَاتُ تَوْقِيفِيَّةٌ فَالدَّلِيلُ عَلَى مَنْ أَجَازَ وَإِلَّا فَالْأَصْلُ الْمَنْعُ ، يَقُولُ ﷺ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ، يَعْنِي مَرْدُودٌ. وَيَقُولُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. فَلَمْ يُحْفَظْ عَنْهُ ﷺ وَلَا عَنْ الصَّحَابَةِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَهْدُونَ الْقُرْآنَ إِلَى أَحَدٍ، كَانُوا يَقْرَؤُونَهُ يُرِيدُونَ الْقِرَاءَةَ.
Menghadiahkan pahala bacaan al-Quran baik dengan cara lirih atau dengan mengeraskan suara tidak ada dalilnya. Sedangkan ibadah adalah tauqīfiyaḥ (ketetapan syariat), maka harus ada dalilnya bagi yang membolehkan. Jika tidak ada dalilnya, maka hukum asalnya adalah tidak boleh dilakukan. Nabi Muḥammad bersabda, “Barang siapa mengerjakan sebuah amalan yang bukan urusan kami maka tertolak”. Juga tidak ditemukan dari Rasūlullāh dan sahabat bahwa mereka menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada seseorang. Mereka membaca al-Quran hanya bertujuan membacanya.
Pernyataan Syekh Bin Bāz di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit tidak ada dalilnya;
- Hal semacam ini adalah ibadah dan penetapannya hanya melalui tauqīfi;
- Membaca al-Quran untuk mayit adalah bidah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasūlullāh dan para sahabatnya.
Tanggapan
Menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit adalah permasalahan khilafiah antara para ulama. Sebagian ada yang menganjurkan, sebagian lain ada yang tidak mengamalkan, keduanya sama-sama memiliki landasan dalil. khilafiah tersebut tidak terletak pada bidah atau tidaknya, tapi sampai atau tidaknya pahala yang dihadiahkan untuk orang yang meninggal. Dalam menyikapi permasalahan khilafiah ini, para salaf memilih berlapang dada membiarkan orang lain yang beda pendapat untuk mengamalkan amaliah sesuai dalil yang menjadi pegangannya. Selama tidak keluar dari ijmak, suatu amaliah khilafiah tidak boleh diingkari. Prinsip inilah yang tidak kita temukan di kalangan Salafi-Wahabi yang selama ini mengaku mengikuti para salaf.
Pendapat Syekh ʻAbdul ʻAzīz bin Bāz di atas terlihat sangat kaku dalam menyikapi khilafiah, beliau cenderung mengingkari dan mengharamkan. Di sini, yang beliau bahas bukan masalah sampai atau tidaknya, melainkan hukum melakukannya, tentu ini keluar dari ranah khilafiah yang dibahas para ulama. Namun ulama yang mengatakan sampai, memang menganjurkan, sedangkan ulama yang mengatakan tidak sampai, tidak menganjurkan, namun tidak pasti membidahkan (mengharamkan).
Untuk lebih lanjut, berikut tanggapan atas pernyataan Syekh Bin Bāz:
Pertama, pernyataan bahwa anjuran menghadiahkan bacaan al-Quran kepada mayit tidak ada dalilnya, mengandung dua kemungkinan. Adakalanya tidak ada satupun dalilnya dalam syariat. Adakalanya ada dalilnya, namun lemah sehingga tidak dapat dijadikan hujah. Keduanya sama-sama tidak tepat. Berikut kami ulas dalil-dalil anjuran menghadiahkan bacaan al-Quran untuk orang yang meninggal:
Dalil pertama
أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.
Dari ʼ Abī Hurairaḥ , Rasūlullāh bersabda: “Apabila manusia mati maka amalnya terputus kecuali tiga perkara: Pertama, sedekah jariyah; kedua, ilmu yang bermanfaat; ketiga, doa anak saleh untuk orangtuanya.” (HR. Muslim:1631)
Hadis ini menjadi akar perdebatan para ulama dalam hal sampai atau tidaknya bacaan al-Quran. Sebagian para ulama yang berpendapat sampai, berpandangan bahwa hadis ini menjadi dalil bahwa semua ibadah dapat dihadiahkan untuk mayit, baik sedekah, ṣalat, puasa, ataupun bacaan al-Quran. Dalam hal ini, ulama mengqiyaskan bacaan al-Quran dengan sedekah dan doa. Dalam hal ini, al-Ḥāfiẓ as-Suyūṭī berkata:
وَاسْتَدَلُّوا عَلَى الْوُصُولِ بِالْقِيَاسِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالصَّوْمِ وَالْحَجِّ وَالْعِتْقِ فَإِنَّهُ لَا فَرْقَ فِي نَقْلِ الثَّوَابِ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ عَنْ حَجٍّ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ وَقْفٍ أَوْ دُعَاءٍ أَوْ قِرَاءَةٍ وَبِالْأَحَادِيثِ الْآتِي ذِكْرُهَا.
Ulama mengambil dalil sampainya pahala kepada mayit dengan qiyas atas doa, sedekah, puasa, haji, dan memerdekakan budak, karena tidak ada perbedaan di dalam sampainya pahala haji, sedekah, wakaf, doa, dan bacaan al-Quran. Dan berdasarkan hadis-hadis yang akan disebutkan.
al-Ḥāfiẓ al-Qurṭubī berpendapat bahwa hadis di atas menjadi dasar melakukan berbagai ibadah dan menghadiahkannya kepada mayit. al-Ḥāfiẓ al-Qurṭubī mengatakan:
أَصْلُ هَذَا الْبَابِ الصَّدَقَةُ الَّتِي لَا اخْتِلَافَ فِيهَا فَكَمَا يَصِلُ لِلْمَيِّتِ ثَوَابُهَا، فَكَذَلِكَ تَصِلُ قِرَاءَةُ الْقُرْءَانِ وَالدُّعَاءِ وَالِاسْتِغْفَارِ إِذْ كُلُّ ذَلِكَ صَدَقَةٌ فَإِنّ الصَّدَقَةَ لَا تَخْتَصُّ بِالْمَالِ.
Dasar dalam bab ini adalah sedekah yang tidak ada perselisihan di dalamnya, sebagaimana pahala sedekah sampai pada mayit maka demikian pula bacaan al-Quran, doa, dan istigfar, karena semua itu adalah sedekah, sebab sedekah tidak tertentu dengan harta.
Kemudian al-Ḥāfiẓ al-Qurṭubī berdalil dengan dua hadis berikut:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَنَّهُ قَالَ: يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ، وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ، وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى.
Dari Abū Żarr dari Nabi Muḥammad , bahwa beliau bersabda: “Setiap pagi dari persendian masing-masing kalian ada sedekahnya, setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir sedekah, setiap amar ma’ruf nahi mungkar adalah sedekah, dan semuanya itu tercukupi dengan dua rakaat ḍuha.” (HR. Muslim: 1181)
Mengomentari hadis di atas, al-Ḥāfiẓ al-Qurṭubī berkata:
وَلِهَذَا اسْتَحَبَّ الْعُلَمَاءُ زِيَارَةَ الْقُبُورِ فَأَفَادَ أَنَّ الْقِرَاءَةَ يَشْمَلُهَا لَفْظُ الصَّدَقَةِ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ.
Oleh karena ini, para ulama menganjurkan ziarah kubur. Hadis tersebut memberi faedah bahwa bacaan (al-Quran) termasuk sedekah dalam istilah syariat.
Dalil Kedua
حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْعَلَاءِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: قَالَ لِي أَبِي: ” يَا بُنَيَّ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي، فَإِذَا وَضَعْتَنِي فِي لَحْدِي فَقُلْ: بِسْمِ اللهِ وَعَلَى مِلَّةِ رَسُولِ اللهِ، ثُمَّ سِنَّ عَلَيَّ الثَّرَى سِنًّا، ثُمَّ اقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِي بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ وَخَاتِمَتِهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ ذَلِكَ.
Menceritakan kepada kami, ‘Abdurraḥman bin ‘Alā’ bin al-Lajlāj, dari ayahnya, ia berkata: Ayah berkata kepadaku, “Wahai anakku, jika aku mati kuburlah aku. Ketika engkau meletakkanku di liang lahad, bacalah, “Bismillāh wa ‘ala Millati Rasūlillāh”, kemudian tutupilah aku dengan tanah, lalu bacakan di kepalaku awal dan akhir suraḥ al-Baqaraḥ, karena aku pernah mendengar Rasūlullāh bersabda demikian.” (HR. at-Ṭabrānī: 491)
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasūlullāh menganjurkan membaca awal dan akhir surah al-Baqaraḥ ketika mayit sudah dikebumikan. Sebagian kalangan menolak hadis ini karena status hadisnya mursal. Padahal mengambil dalil berdasarkan hadis mursal masih diporbolehkan oleh banyak ulama salaf. al-Ḥāfiẓ ‘Ibnu Kaṡīr berkata:
قَالَ: وَالِاحْتِجَاجُ بِهِ مَذْهَبُ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَصْحَابِهِمَا فِي طَائِفَةٍ. قُلْتُ: وَهُوَ مُحَكًى عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، فِي رِوَايَةٍ.
‘Ibnu Ṣalah berkata: “Mażhab Mālik, ‘Abū Ḥanīfah dan para murid mereka menjadikan hadis mursal sebagai ḥujjah.” Aku berkata: “Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Imām ’Aḥmad dalam satu riwayat”.
Namun, Syekh ‘Abdullāh bin Ṣidiq al-Gumarī menolak pernyataan bahwa sanad hadis ini mursal, beliau mengatakan:
وَقَوْلُهُمْ مُرْسَلٌ مَرْدُودٌ لَانَ الْحَدِيثُ مُتَّصِلٌ وَهَذَا سَنَدُهُ: حَدَّثَنِي الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ ثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ ثَنَا مُبَشِّرُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْعَلَاءِ اللَّجْلَاجُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ أَبِي اللَّجْلَاجِ أَبُو خَالِدٍ (يَا بُنَيَّ إِذَا أَنَا مُتُّ فَأَلْحِدْنِي(…
Pendapat hadis ini mursal tertolak, karena hadis ini muttaṣil. Demikian sanadnya: Menceritakan kepadaku, Ḥusain bin Isḥāq at-Tustarī, menceritakan kepada kami, ‘Alī bin Ḥajar, menceritakan kepada kami, Mubassyir bin Ismā‘īl, menceritakan kepada kami, ‘Abdurraḥman bin ‘Alā’ bin al-Lajlāj, dari ayahnya, ayah Lajlāj ‘Abū Khālid berkata (Wahai anakku, jika aku mati kuburlah aku…)
Dalil Ketiga
Hadis serupa juga diriwayatkan dari ‘Ibnu ‘Umar aṭ-Ṭabrānī meriwayatkan:
حَدَّثَنَا أَبُو شُعَيْبٍ الْحَرَّانِيُّ، ثنا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللهِ الْبَابِلُتِّيُّ، ثنا أَيُّوبُ بْنُ نَهِيكٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَطَاءَ بْنَ أَبِي رَبَاحٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ فَلَا تَحْبِسُوهُ، وَأَسْرِعُوا بِهِ إِلَى قَبْرِهِ، وَلْيُقْرَأْ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، وَعِنْدَ رِجْلَيْهِ بِخَاتِمَةِ الْبَقَرَةِ فِي قَبْرِهِ.
Menceritakan kepada kami ‘Abū Syu’aib bin al-Ḥarranī, menceritakan kepada kami Yaḥya bin ‘Abdullāh al-Bābiluttī, menceritakan kepada kami, ’Ayyūb bin Nahīk, berkata: Aku mendengar ‘Aṭa’ bin ’ Abī Rabah, berkata, Aku mendengar, Ibnu ‘Umar berkata, Aku mendengar Nabi bersabda: “Ketika salah satu dari kalian mati maka jangan menahan dan segera bawa ke kuburan, dan bacakalah di kepalanya awal al-Quran dan di kedua kakinya akhir surah al-Baqarah di kuburannya”. (HR. at-Ṭabrānī: 13613)
Kendati terdapat perawi yang lemah, hadis ini dapat diperkuat oleh hadis Ṣaḥīḥ sebelumnya, sebagaimana kaidah dasar ’i‘tibar dalam ilmu hadis.
Banyak para ulama yang menjadikan wasiat para salaf sebagai hukum boleh dan sampainya pahala membaca al-Quran untuk mayit. Bahkan Imām Aḥmad bin Ḥanbal—yang awalnya membidahkan menghadiahkan bacaan al-Quran—mencAbūt pendapatnya setelah mengetahui ada riwayat di atas. al-Khallāl meriwayatkan:
وَأَخْبَرَنِي الْحَسَنُ بْنُ أَحْمَدَ الْوَارِقُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عَلِيُّ بْنُ مُوسَى الْحَدَّادُ، وَكَانَ صَدُوقًا، وَكَانَ ابْنُ حَمَّادٍ الْمُقْرِيءُ يُرْشِدُ إِلَيْهِ، فَأَخْبَرَنِي قَالَ: كُنْتُ مَعَ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، وَمُحَمَّدِ بْنِ قُدَامَةَ الْجَوْهَرِيِّ فِي جِنَازَةٍ، فَلَمَّا دُفِنَ الْمَيِّتُ جَلَسَ رَجُلٌ ضَرِيرٌ يَقْرَأُ عِنْدَ الْقَبْرِ، فَقَالَ لَهُ أَحْمَدُ: يَا هَذَا إِنَّ الْقِرَاءَةَ عِنْدَ الْقَبْرِ بِدْعَةٌ، فَلَمَّا خَرَجْنَا مِنْ الْمَقَابِرِ قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ لِأَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ، مَا تَقُولُ فِي مُبَشِّرِ الْحَلَبِيِّ؟ قَالَ: ثِقَةٌ، قَالَ: كَتَبْتُ عَنْهُ شَيْئًا؟ قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَخْبَرَنِي مُبَشِّرٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْعَلَاءِ بْنِ اللَّجْلَاجِ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ ” أَوْصَى إِذَا دُفِنَ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ رَأْسِهِ بِفَاتِحَةِ الْبَقَرَةِ، وَخَاتَمَتِهَا، وَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يُوصِي بِذَلِكَ، فَقَالَ أَحْمَدُ: ارْجِعْ فَقُلْ لِلرَّجُلِ يَقْرَأُ.
Ḥasan bin Aḥmad al-Wāriq berkata, menceritakan kepadaku ‘Alī bin Mūsa al-Ḥaddād—ia perawi yang jujur, ‘Ibnu Ḥammād al-Muqri’ memberinya petunjuk—ia menceritakan kepadaku, berkata: “Aku bersama Aḥmad bin Ḥanbal dan Muḥammad bin Qudāmah al-Jauharī di prosesi jenazah. Ketika mayit dipendam, seorang lelaki buta membaca al-Quran di kuburan. Lalu Aḥmad mengatakan “Wahai lelaki, membaca (Quran) di kuburan itu bidah!”. Ketika kami keluar dari kuburan, Muḥammad bin Qudāmah berkata kepada Aḥmad bin Ḥanbal: “Wahai ‘Abū ‘Abdillāh, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyir al-Ḥal Abī ?”. Ia menjawab “Ia perawi ṡiqah”. Muḥammad bertanya: “Apakah engkau pernah menulis hadis darinya?”. Ia menjawab “Iya”. Muḥammad berkata: “Mubassyir mengabarkan kepadaku dari ‘Abdirrahman bin ‘Alā’ bin al-Lajlāj dari ayahnya, ia berwasiat ketika dikuburkan untuk dibacakan di kepalanya permulaan dan akhir al-Baqarah, ia berkata: “Aku mendengarkan ‘Ibnu ‘Umar mewasiatkan itu”. Lalu Aḥmad berkata: “Kembalilah dan katakan padanya (lelaki buta) agar membaca (al-Quran).”
Dari cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa Imām ’Aḥmad berpendapat bahwa riwayat wasiat ’Ibnu ‘Umar dapat dijadikan ḥujjah bolehnya membaca al-Quran untuk mayit. Cerita tersebut juga memperlihatkan betapa inṣaf-nya Imām Aḥmad bin Ḥanbal, beliau langsung mencAbūt pendapatnya yang melarang menghadiahkan bacaan al-Quran untuk mayit setelah mendengar riwayat wasiat gurunya, Mubassyir al-Ḥal Abī dan wasiat sahabat ‘Ibnu ‘Umar. Suatu sikap yang tidak kita temukan dari para ulama Salafi-Saudi yang mengaku mengikuti Imām Aḥmad.
‘Ibnu Qayyim—murid Syekh ‘Ibnu Taimiyah dan pengikut setia Mażhab Ḥanbalī—juga menjadikan riwayat wasiat ‘Ibnu ‘Umar di atas sebagai dalil bolehnya menghadiahkan bacaan al-Quran. Syekh ‘Ibnu Qayyim berkata:
وَقَدْ ذُكِرَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ السَّلَفِ أَنَّهُمْ أَوْصَوا أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ قُبُورِهِمْ وَقْتَ الدَّفْنِ قَالَ عَبْدَالِحَقُّ: يُرْوَى أَنَّ عَبْدَاللَّهِ ابْنَ عُمَرَ أَمَرَ أَنْ يَقْرَأَ عِنْدَ قَبْرِهِ سُورَةَ الْبَقَرَةِ.
Telah disebutkan bahwa segolongan dari salaf berwasiat untuk dibacakan al-Quran di kuburan mereka ketika dipendam. Syekh ‘Abdul Ḥaq berkata: “Diriwayatkan bahwa ‘Abdullāh bin ‘Umar memerintahkan untuk dibacakan surah al-Baqarah di kuburannya”.
Dalil Keempat
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ وَمُحَمَّدُ بْنُ مَكِّيٍّ الْمَرْوَزِيُّ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُلَيْمَانَ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي عُثْمَانَ وَلَيْسَ بِالنَّهْدِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ .
Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin al-‘Alā` dan Muḥammad bin Makkī al-Marwazī, secara makna, mereka berkata: telah menceritakan kepada kami ‘Ibnu al-Mubārak dari Sulaimān aṭ–Ṭaimī dari ‘Abū Uṡmān bukan an-Nahdī, dari ayahnya, dari Ma’qil bin Yasār, ia berkata: Nabi bersabda: “Bacakanlah surah Yasin kepada orang yang akan meninggal di antara kalian.” (HR. ‘Abū Dawud: 2714)
Dalam musnadnya tersebut, ‘Abū Dawud tidak memberikan komentar. Ini berarti menunjukkan bahwa beliau menilai hadis ini Ṣaḥīḥ. Hal ini sebagaimana ‘Abū Dawud jelaskan sendiri dalam risalahnya.
وَمَا كَانَ فِي كِتَابِي مِنْ حَدِيثٍ فِيهِ وَهُنٌ شَدِيدٌ فَقَدْ بَيَّنْتُهُ وَمِنْهُ مَالًا يَصِحُّ سَنَدُهُ. الْمَسْكُوتُ عَنْهُ صَالِحٌ مَا لَمْ أَذْكُرْ فِيهِ شَيْئًا فَهُوَ صَالِحٌ وَبَعْضُهَا أَصَحُّ مِنْ بَعْضٍ.
Hadis yang sangat lemah dalam kitabku dan juga hadis yang tidak Ṣaḥīḥ sanadnya aku jelaskan. Hadis yang tidak ada komentarnya, selama aku tidak menyebutkan apapun, hadis tersebut Ṣāliḥ, dan sebagiannya ada yang lebih Ṣaḥīḥ dari yang lain.