Konten-konten hijrah semakin marak di media sosial. Media sosial sudah tidak hanya sebagai sarana pamer foto ataupun ketenaran,sudah banyak pengguna media sosial yang menjadikannya sebagai media untuk berdakwah dan menyebarkan ilmu agama bahkan buku-buku keagamaan yang dulu sulit dicari, sekarang sudah ramai dijual. Fenomena semacam ini patut kita syukuri, sebab banyak orang-orang sibuk yang tidak sempat untuk belajar agama pada orang alim. Untuk belajar agama mereka cukup mengakses konten-konten dakwah yang sudah tersebar di media sosial ataupun membeli buku-buku keagamaan.
Namun apakah dibenarkan belajar ilmu agama secara otodidak melalui internet ataupun membaca buku-buku tanpa ada bimbingan seorang guru. Ada pemilahan mengenai belajar agama tanpa seorang guru. Jika seseorang tersebut adalah seorang yang masih minim pengetahuannya tentang agama Islam maka tidak diperbolehkan, sebab ia masih belum bisa membedakan mana ilmu yang bisa memberinya petunjuk pada kebaikan dan mana ilmu yang bisa menjerumuskan pada kesesatan. Bisa saja ilmu yang ia dapat dari internet ataupun buku bacaan justru menyesatkannya sedangkan ia tidak tahu dan menyangkanya benar.
Hal ini senada dengan pendapat Imam Abu Yazid yang dikutip oleh Abdul Karim bin Hawazin dalam kitabnya ar-Risalah al-Qusyairiyah;
يَجِبُ عَلَى المُريْدِ أَنْ يَتَأَدَّبَ بشَيْخٍ؛ فَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ لاَ يُفْلِحُ أَبَداً.هَذَا أَبُو يَزِيْد يَقُوْلُ: مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَانُ
“Seorang murid harus menjaga tatakrama kepada gurunya. Jika ia tidak memiliki seorang guru maka ia tidak akan beruntung selamanya. Abu Yazid berkata ‘Barang siapa yang tidak memilik seorang guru, maka yang membimbingnya adalah setan”. (ar-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 181)
Baca Juga: Kiat Bocah Belajar Akidah
Selain itu belajar ilmu agama juga harus memiliki sanad yang jelas, dari mana sumber ilmu yang kita dapat tersebut. Ilmu agama adalah bagian dari agama sehingga kita harus tahu jelas dari siapa kita. Jika seseorang murni belajar otodidak tanpa guru maka sanad keilmuannya tidak jelas. Dalam kitab Sahih Muslim Imam Ibnu Sirin menyampaikan pentingnya memperhatikan sanad keilmuan;
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُم
“Ilmu adalah bagian dari pada agama Islam, oleh karenanya perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian”
dalam Sahih Muslim juga menukil perkataan Abdullah bin al-Mubarak mengenai sanad;
اَلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ وَلَوْلَا الإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad itu bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, pasti siapapun bisa berkata apa yang dia kehendaki.”
Begitulah ulama mewanti-wanti kita untuk berhati-hati dalam memilih sanad keilmuan, apalagi jika ilmu agama kita tidak memilik sanad yang jelas karena tidak ada guru yang membimbing, padahal dalam kitab Ta’limul-Mutaallim Sayidina Ali bin Abi Thalib menjelaskan bahwa ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam hal, dan salah satunya adalah guru, sebagaimana syair beliau;
أَلاَ لاَ تَنَالُ العِلْمَ اِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانِ * ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ وَاِرْشَادِ أُسْتَاذِ وَطُوْلِ الزَّمَانِ
“Ingatlah! Tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara yang akan dijelaskan dan terkumpul dengan jelas. Yaitu cerdas, semangat, sabar, uang, petunjuk guru, waktu yang lama”.
Baca Juga: Memilih Islam Sebagai Agama, Mengapa?
Adapun seseorang yang sudah memiliki ilmu agama yang mumpuni dan telah mendapat bimbingan dari seorang guru, maka tidak masalah baginya untuk menambah pengetahuan agamanya secara otodidak melalui internet ataupun buku-buku, sebab ia bisa membedakan mana ilmu agama yang tidak baik untuk ia pelajari.
Adapun jika yang dipelajari adalah buku ataupun kitab yang aman dari penyimpangan maka tidak apa-apa mempelajarinya meskipun tanpa seorang guru, dan orang yang sudah mumpuni keilmuannya memiliki kapasitas untuk membedakan. Imam Ibnu Abdussalam menjelaskan kebolehannya;
أما الاعتماد على كتب الفقه الصحيحة الموثوق بها, فقد اتفق العلماء في هذا العصر على جواز الاعتماد عليها والاستناد إليها
“Adapun jika berpegangan pada kitab-kitab fikih yang sahih dan terpercaya, maka para ulama di era ini sepakat akan kebolehan berpegangan dan menjadikannya sandaran”.(al-Ashbah Wa Nadzair , Hal. 310. Darul Kutub al-Ilmiyah. Beirut.)
Jadi, untuk seseorang yang masih minim keilmuannya hendaknya belajar agama secara talaqqi (tatap muka) kepada seorang guru yang tepercaya sanad keilmuannya, agar ia tidak terjerumus pada kesesatan.
Muhammad Nuruddin | Annajahsidogiri.id