Salah satu tradisi yang telah melekat erat di kalangan sebagian masyarakat Indonesia adalah manaqiban. Kata manakib berarti riwayat kehidupan yang mulia atau baik. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan sejarah kehidupan seseorang yang dianggap tokoh atau figur publik dalam suatu masyarakat, termasuk kehidupannya, pencapaian, sifat-sifat, dan hal-hal lainnya.
Pada umumnya, kaum Muslimin di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Jawa, mengartikan manakib sebagai kisah-kisah tentang para Nabi dan wali. Kisah-kisah tersebut disajikan dengan bahasa yang indah dan menggunakan susunan kalimat pujian yang menakjubkan, seperti yang sering kita temui dalam Manakib Syekh Abdul Qadir al-Jilani.
Namun, ada saja oknum yang enggan untuk melakukan tradisi yang sudah mendarah daging ditengah masyarakat. Mereka menyatakan bahwa pembacaan manakib merupakan bidah yang tidak pantas untuk dikerjakan oleh umat Islam, bahkan Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah mengerjakan hal ini. seruan ini pun berdampak terhadap masyarakat yang kebingungan dengan hukum manakiban, yang akhirnya sebagian masyarakat pun meninggalkan tradisi ini.
Jika kita melihat pada sejarah, memang Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak diketahui melakukan pembacaan manakib. Hanya saja, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ
“Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin.” (Hūd [11]:120)
Ayat ini dijadikan dalil atas legalitas manakib, meskipun termasuk kategori bidah, namun merupakan bidah hasanah, bukan bidah yang haram. Al–Quran menyebutkan bahwa Al-Quran menceritakan kisah teladan para rasul untuk peneguhan hati. Di beberapa ayat Al-Quran lainnya juga terdapat kisah-kisah para mukminin dan salihin, seperti kisah Siti Maryam yang melahirkan Nabi Isa tanpa seorang ayah (Âli ‘Imrân [3]:47 dan Maryam [19]:16-33), serta kisah ketabahan Asiyah binti Mazâhim dalam mempertahankan keimanannya kepada Allah di bawah siksaan Firaun (At-Taḥrîm [66]:11).
Baca juga : Polemik Tradisi 40 Harian
Kendati mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ dan para sahabat tidak pernah melakukan tradisi tersebut, beberapa ulama Islam berpendapat bahwa manakiban merupakan hal yang baik dan sangat dianjurkan untuk dilaksanakan. Meski tidak menyebutkan secara jelas, dua ulama di bawah ini menyebutkan anjuran manaqib.
- Al-Imam Abu Nu’aim al-Ashbihani
Dalam kitabnya yang berjudul Hilyatul Auliya.
حدثنا مُحَمَّدُ بْنُ حَسَّانَ، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عُيَيْنَةَ، يَقُولُ:[ عِنْدَ ذِكْرِ الصَّالِحِينَ تَنْزِلُ الرَّحْمَةُ ]
“Ketika nama orang-orang saleh disebut maka Rahmat Allah akan turun”.[1]
- Al-‘allâmah Sayid Abdur Rahman Ba’alawi
Dalam kitabnya yang berjudul Bughyat al-Mustarsyidîn, beliau menceritakan hadis Nabi ﷺ
[مَنْ وَرَّخَ مُؤْمِنًا فَكَأَنَّمَا أَحْيَاهُ، وَمَنْ قَرَأَ تَارِيخَهُ فَكَأَنَّمَا زَارَهُ، وَمَنْ زَارَهُ فَقَدْ اسْتَوْجَبَ رِضْوَانَ اللَّهِ تَعَالَى فِي حُرُورِ الْجَنَّةِ]
“Siapa yang menulis seorang mukmin, maka seolah-olah dia telah menghidupkannya kembali. Dan siapa yang membaca sejarahnya, maka seolah-olah dia telah mengunjunginya. Dan siapa yang mengunjunginya, maka dia telah berhak mendapatkan rida Allah Ta’ala di dalam surga yang penuh kenikmatan.”[2]
Dari pemaparan pendapat dan kutipan ulama di atas, kita dapat memahami bahwa tradisi manakiban merupakan kegiatan yang terpuji untuk dilakukan bersama masyarakat dengan khusyuk, serta meneladani kisah-kisah para nabi dan salihin.
Bahkan, orang yang menulis sejarah orang mukmin yang telah meninggal diibaratkan seperti menghidupkannya kembali. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita tetap melestarikan tradisi manakiban yang telah mengakar di sebagian penjuru Indonesia dan mewariskannya kepada generasi penerus aswaja. Wassalam.
Lubbil Labib | Annajahsidogiri.ID
[1] Al-Imam Abu Nuaim al-Ashbihani, hilyatul auliya’ wa thabaqatul ashfiya’, juz.2, hal.285, Jamiul Kutub al-Islamiyah.
[2] Sayid Abdur Rahman Ba’alawi, Bughyat al-Mustarsyidîn, hal.200, Jamiul Kutub al-Islamiyah. Dar al-fikr.