Dalam Al-Qur’an surah as-Sajdah Allah berfirman:
(السجدة [٣٢]: ٤) اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia istiwa’ di atas ‘Arsy.” (QS. as-Sajdah [32]: 4)
Secara lahir, ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa Allah menciptakan langit dan bumi dalam kurun waktu enam hari. Namun, di dalam surah Yasin ayat 82 dijelaskan bahwa, jika Allah ingin menciptakan sesuatu, maka cukup dengan “kun”, sesuatu itu pun langsung tercipta.
Lantas, apakah kedua ayat tersebut bertentangan? Tentu jawabannya adalah tidak. Sebab, sebenarnya Allah mampu untuk menciptakan langit dan bumi dalam sekedipan mata. Namun, mengapa Allah masih menciptakannya selama bertahap? Karena Allah ingin memberikan pelajaran (hikmah) kepada hamba-Nya, bahwa dalam menciptakan sesuatu itu butuh proses dan kesabaran serta tidak tergesa-gesa.
Al-Imam Hasan al-Bashri berkata, sebagaimana dikutip oleh Syekh Ali ash-Shabuni di dalam kitab Shafwatut-Tafâsîr:
وَلَوْ شَاءَ لَخَلَقَهَا بِلَمْحِ الْبَصَرِ وَلَكِنْ اَرَادَ اَنْ يُعَلِّمَ عِبَادَهُ التَّأَنِّيَ فِي الَاُمُورِ
“Andaikan Allah menghendaki, niscaya Dia menciptakannya (langit dan bumi) dalam sekedipan mata. Akan tetapi, Dia ingin mengajarkan hamba-hamba-Nya untuk pelan-pelan dalam segala hal.”[1]
Maksud Fî Sittati Ayyâm
Mengenai kata “ayyâm” dalam ayat di atas, ulama masih khilaf. Al-Imam al-Qurthubi dalam kitabnya, al-Jâmi‘ li Ahkâmil-Qur’ân, mencantumkan beberapa pendapat, baik dari kalangan sahabat atau tabiin.
Pertama, al-Imam Hasan al-Bashri menyatakan bahwa penciptaan langit dan bumi dimulai dari hari Ahad dan berakhir pada hari Jumat (sebagaimana hari yang kita kenal).
فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ” مِنْ يَوْمِ الْأَحَدِ إِلَى آخِرِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ. قَالَ الْحَسَنُ: مِنْ أَيَّامِ الدُّنْيَا
“(Maksud dari) fî sittati ayyâm adalah sejak hari Ahad hingga hari Jumat. Al-Hasan berkata, ‘Sama seperti hari-hari di dunia’.”[2]
Kedua, menurut Imam Ibnu Abbas, maksud fî sittati ayyâm di dalam ayat di atas adalah enam hari yang perkiraan lamanya sama dengan seribu tahun di dunia.
وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ الْيَوْمَ مِنَ الْأَيَّامِ السِّتَّةِ الَّتِي خَلَقَ اللَّهُ فِيهَا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِنْ سِنِيِّ الدُّنْيَا
“Ibnu Abbas berkata, ‘Satu hari dari enam hari, di mana Allah menciptakan langit dan bumi, setara dengan seribu tahun dunia’.”[3]
Ketiga, menurut al-Imam adh-Dhahhak adalah sama dengan pendapat Ibnu Abbas. Namun, perkiraan lamanya, menurut beliau, sama seperti enam ribu tahun.
وَقَالَ الضَّحَّاكُ: فِي سِتَّةِ آلَافِ سَنَةٍ، أَيْ فِي مُدَّةِ سِتَّةِ أَيَّامٍ مِنْ أَيَّامِ الْآخِرَةِ.
“Adh-Dhahhak berkata, ‘(langit dan bumi diciptakan selama) enam hari akhirat yang perkiraan lamanya seperti enam ribu tahun’.”[4]
Namun, pendapat lain menyatakan bahwa yang dimaksud fî sittati ayyâm dalam ayat di atas bukan bermakna enam hari. Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Kitab Tafsîrul-Munîr memaparkan bahwa maksud “ayyâm” dalam ayat itu bukan bermakna hari yang kita kenal. Sebab, sebelum langit dan bumi tercipta, tidak ada matahari dan bulan. Sehingga, ketika itu, tidak ada siang dan malam.
Baca Juga: Rahasia di Balik Perang Shiffin
Berikut redaksi ibaratnya:
انَّ اللَّهَ تَعَالَى هُوَ خَالِقُ الاَشْيَاءِ فَخَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالَارْضَ وَاَبْدَعَهُمَا وَفَطَرَهُمَا وَمَا بَيْنَهُمَا لَا عَلَى مِثَالٍ سَابِقٍ فِي مُدَّةِ سِتَّةِ ايَّامٍ ايْ فِي اَجْزَاءٍ سِتَّةٍ مِنْ الْوَقْتِ لَيْسَتْ هِيَ الَايَّامُ الْمَعْرُوفَةُ لِاَنَّهُ قَبْلَ خَلْقِهَا لَمْ يَكُنْ لَيْلٌ وَنَهَارٌ
“Tuhan Yang Maha Esa adalah Pencipta segala sesuatu, maka Dia menciptakan langit dan bumi, menciptakannya, menciptakannya, dan apa yang ada di antara keduanya, bukan seperti contoh sebelumnya, dalam jangka waktu enam hari, yaitu dalam enam bagian bumi. waktu, yang bukan hari yang diketahui. Karena sebelum penciptaannya tidak ada malam maupun siang.”[5]
Dari beberapa pendapat di atas, tidak ada seorang pun dari umat manusia yang mengetahui akan hakikat penciptaan bumi dan langit. Tiada seorang pun yang mengetahui seberapa lama bumi dan langit itu diciptakan melainkan Allah. Hanya Allahlah yang mengetahuinya. Karena itulah, sebagai hamba-Nya, tidak patut bagi kita untuk mempertanyakan, “Bagaimana Allah menciptakan langit, bumi dan seisinya?”.
Walhasil, sebenarnya Allah bisa menciptakan segalanya dalam sekedipan mata. Namun, karena Allah ingin memberikan pelajaran kepada para hamba-Nya, akhirnya Dia pun menciptakannya secara bertahap. Wallâhu a‘lam.
Mohammad Ishaqi Al-Ayyubi | Annajahsidogiri.id
[1] Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni, Shafwatut-Tafâsîr, 2/461.
[2] Al-Imam al-Qurthubi, al-Jâmi‘ li Ahkâmil-Qur’ân, 14/86.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Az-Zuhaili, at-Tafsîr al-Munir, 21/189.