Setelah kami jelaskan pada artikel sebelumnya tentang otoritas hadis sebagi sumber ajaran Islam. Maka, yang perlu kita ketahui selanjutnya adalah peran hadis terhadap Al-Qur’an. Untuk itu, mari kita simak ulasannya berikut ini.
Peran Hadis Terhadap Al-Qur’an
Hadis merupakan salah satu sumber dalam Islam setelah Al-Qur’an. Hal tersebut telah menjadi konsensus ulama. Maka dari itu, keberadaan hadis sangat penting terhadap Al-Qur’an. Menurut Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya, ‘Ilmu Ushûlil-Fiqih, setidaknya ada tiga fungsi hadis terhadap Al-Qur’an:
1- Muakkidah lil-Qur’an
Maksudnya adalah hadis itu memperkuat suatu hukum yang tercantum dalam Al-Qur’an. Jika demikian, maka hukum yang dihasilkan memiliki dua dalil, yaitu dari Al-Qur’an dan hadis.
Di antara hukum-hukum tersebut seperti perintah mendirikan salat, sebagaimana dalam ayat berikut:
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرّٰكِعِيْنَ (البقرة [٢]: ٤٣)
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk”. (QS. al-Baqarah [02]: 43)
Adapun hadis yang memperkuat hukum akan kewajiban mendirikan shalat, di antaranya:
بنِي الْإِسْلَامُ عَلَى خَمسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحَجَ الْبَيْتِ (رَوَاهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
“Islam didirikan atas lima dasar, yaitu: memberi kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan, dan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
2- Mufassirah lil-Qur’an
Maksudnya adalah memerinci hukum yang masih global, membatasi hukum yang masih mutlak atau menspesifikasihukum yang masih umum yang tercantum dalam Al-Qur’an. Hal tersebut karena telah Allah berikan leluasa bagi Rasulullah untuk memerinci, membatasi ataupun menspesifikasi hukum yang tertuang dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman-Nya:
بِالۡبَيِّنٰتِ وَالزُّبُرِؕ وَاَنۡزَلۡنَاۤ اِلَيۡكَ الذِّكۡرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ اِلَيۡهِمۡ وَلَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُوۡنَ (النحل [١٦]: ٤٤)
“(Mereka Kami utus) dengan membawa keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan.“ (QS. An-Nahl [16]: 44).
Contoh hukum-hukum tersebut, sebagaimana dalam Al-Qur’an terdapat perintah melaksanakan shalat, seperti yang tertera dalam surah al-Baqarah ayat 43 di atas. Kemudian dijelaskan lebih detail lagi dalam hadis tentang waktu-waktu didirikannya salat. Di antara contohnya seperti dalam hadis:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْعَصْرُ وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبْ الشَّفَقُ وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ الشَّمْسُ فَأَمْسِكْ عَنْ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ
“Dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Rasulullah bersabda: ‘Waktu shalat zuhur adalah ketika matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang seperti panjangnya, selama belum tiba waktu shalat asar. Adapun waktu salat asar adalah selama matahari belum menguning. Sedangkan, waktu salat Magrib adalah selama mega merah (syafaq) belum menghilang. Adapun waktu salat Isya adalah hingga tengah malam. Sedangkan waktu salat Subuh adalah semenjak terbit fajar sadik selama matahari belum terbit. Jika matahari telah terbit, maka janganlah kalian melaksanakan salat, karena ia terbit diantara dua tanduk setan.” (HR. Muslim)
3- Munsyi’atul-Hukmi al-Maskût fil-Qur’an
Maksudnya adalah hadis itu menetapkan suatu hukum yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an. Hal tersebut adakalanya melalui wahyu dari Allah kepada Rasul-Nya, atau ijtihad Rasulullah sendiri.
Misalnya, larangan menggabungkan seorang wanita, dalam satu ikatan pernikahan, dengan bibinya; baik bibi dari jalur ayah atau dari jalur ibu, sebagaimana hadis berikut:
(رَوَاهُ مُسْلِمٌ) لَا يُجۡمَعُ بَيۡنَ الۡمَرۡأَةِ وَعَمَّتِهَا، وَلَا بَيۡنَ الۡمَرۡأَةِ وَخَالَتِهَا
“Dari Abu Hurairah, beliau mengatakan, Rasulullah bersabda: ”Tidak boleh seseorang laki-laki mengumpulkan (dalam satu pernikahan) antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ayah. Tidak boleh pula (mengumpulkan) antara seorang wanita dengan bibinya dari jalur ibu.” (HR. Muslim)
Walhasil, hadis merupakan sumber pokok agama Islam yang tidak bisa kita ingkari, karena kita wajib mengikuti Rasulullah sesuai perintah Allah. Hadis juga memiliki peran penting di dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Wallâhu a‘lam.
Moh Zaim Robbani | Annajahsidogiri.id