Qunut merupakan bacaan yang disyariatkan ketika terjadi suatu mala petaka, para ulama menyepakati pernyataan tersebut. Namun, ada perbedaan pendapat mengenai hukum membaca qunut dalam solat subuh. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, bahwa membaca qunut tidak disunnahkan dalam shalat subuh, sedangkan Imam Syafi`I dan Imam Malik memiliki pandangan yang berbeda, yakni qunut subuh itu termasuk bacaan yang dianjurkan.
Terlepas dari perbedaan pendapat para imam mazhab mengenai status bacaan qunut subuh, dalil yang mereka jadikan sumber sama-sama bermuara dari hadis Rasulullah ﷺ. Sehingga, tuduhan wahabi kepada golongan yang menganjurkan qunut subuh itu tidak mengikuti ajaran Rasulullah ﷺ merupakan fitnah yang teramat lemah. Untuk lebih jelasnya, perlu kita bahas kembali secara mendalam.
Nabi Muhammad ﷺ pernah membaca qunut selama satu bulan penuh pada setiap shalat lima waktu, dalam satu riwayat, ketika solat subuh. Beliau mendoakan keburukan atau melaknat Ri’lin, Dzakwan, dan ‘Ushayyah, karna mereka telah membunuh para utusan yang Rasulullah ﷺ kirimkan, guna memberikan pengajaran dan pengetahuan[1]. Kejadian tersebut, terabadikan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang berbunyi:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّةِ ﷺ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُوا عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ.(رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari anas, sesungguhnya Rasulullah ﷺ membaca qunut selama satu bulan, didalamnya mendoakan keburukan bagi beberapa suku Arab, kemudian meninggalkannya.” (HR. Muslim, hadis No. 1586).
Hadis di atas merupakan salah satu landasan para ulama’ yang menafikan anjuran membaca qunut dalam solat subuh. Namun, para ahli hadis memberikan tanggapan terkait hadis di atas. Satu bulan penuh Rasulullah ﷺ melaknat sebagian suku arab, kemudian beliau meninggalkannya. Di sinilah mereka memberikan penjelasan, bahwa Rasulullah ﷺ meninggalkan mendoakan keburukan atau melaknat, bukan meninggalkan membaca qunut dalam solat subuh. pendapat ini diperkuat dengan hadis yang memberikan penjelasan bahwa Rasulullah ﷺ tidak meninggalkan qunut hingga beliau meninggalkan dunia:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالدَّارَقُطْنَى وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمْ بِإِ سَنَدٍ صَحِيحٍ)
“Dari Anas bin Malik beliau berkata: tidak pernah Rasulullah ﷺ seumur hidupnya meninggalkan qunut subuh hingga beliau meninggalkan dunia.”(HR. Ahmad [3/162], ad-Daruqutni [2/39], al-Baihaqi [2/201], dan lain-lain dengan sanad yang sahih).
Selain itu, pendapat yang menganjurkan membaca qunut dalam shalat subuh banyak diikuti mayoritas ulama` dari generasi salaf. Imam al-Hafiz al-Hazimi, dalam kitabnya memberikan penjelasan mengenai konteks tersebut:
وَقَدْ اخْتَلَفَ النَّاسُ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ:فَذَهَبَ أَكْثَرَالنَاسُ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْأَمْصَارِ إِلَى إِثْبَاتِ الْقُنُوتِ, فَمِمَّنْ رُوِّيْنَا ذَلِكَ عَنْهُ مِنْ الصَّحَابَةِ: الْخُلَفَاءُ الرَّاشِدُونَ: أَبُو بَكْرٍ, وَعُمَرُ, وَعُثْمَانُ, وَعَلِيٌّ, وَمِنْ الصَّحَابَةِ: عَمَارِبْنُ يَاسِيرُ, وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ, وَأَبُومُوسَى لِأَشْعَرِي, وَ عَبْدَالرَّحْمَنُ بْنُ أَبِي بَكْرَأَلَصِدِّيقٍ, وَعَبْدَاللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ, وَأَبُوهُرَيْرَةَ, وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ, وَأَنَسُ بْنُ مَالِكٍ
“para ulama` telah berbeda pendapat tentang qunut subuh. Marorits ulama` dari kalangan sahabat, tabiin, dan genersi berikutnya dati berbagai kota berpendapat menetapkan qunut. Dintara para sahabat yang diriwayatkan kepada kami membaca qunut adalah: khulafa`ur-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali). Demikin pula Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka`ab, Abu Musa al-Asy`ari, Abdurrahman bin Abi Bakar, Abdullah bin `Abbas, Abu Hurairah, al-Barra` bin `Azib, dan Anas bin Malik.”[2]
Selepas menjelaskan pendapat yang menetapkan qunut subuh banyak diikuti mayoritas ulama` dari berbagai kalangan, Al-Hazimi menyampaikan pendapat ulama` yang menafikan anjuran membaca qunut dalam solat subuh di dalam penjelasan nasikh wal-mansukh. Kemudian Al-Hazimi menentangnya melalui pandangan ilmu hadis dan usul fiqh. Sejatinya, perbedaan pendapat di atas hanya seputar keunggulan dan mana yang lebih diikuti oleh kalangan mayoritas belaka, bukan dalil yang dijadikan sumber ijtihad. Dan perbedaan seperti ini merupakan suatu kelaziman dan perkara yang wajar, selagi tidak menyentuh ranah pondasi agama (usulud-din). Wallahua`lam bis-sawab.
Cahya Nurul Laka | Annajahsidogiri.id
[1] Mafhumul-bid’ah wa atsarihi, hlm. 176-178
[2] Al-Hafiz al-Hazimi al-I’tibar fi bayanin-Nâsikh wal-Mansukh minal-Asar, hlm. 90