Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan (sunnatullah) yang tak bisa dihindari. Hal ini dikarenakan ada beberapa faktor; Pertama, perbedaan tingkat pemahaman yang dimiliki setiap orang, meski para shahabat sekalipun. Ada suatu hadis yang diriwayatkan dari Imam al-Bukhari:
أَلَّا لَا يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ (روَاهُ الْبُخَارِيُّ)
“Janganlah seorang pun salat melainkan jika sudah sampai di Bani Quraizhah.”
Para shahabat berbeda pendapat tentang hadis ini. Ada shahabat yang memahami teks hadis ini sebagaimana aslinya, dengan artian mereka tidak melakukan shalat Ashar kecuali telah sampai di kampung bani Quraidhah. Sedang yang lain memahami inti dari sabda Nabi ﷺ adalah pergi maninggalkan Khandaq. Sedangkan Shalat Ashar mereka lakukan di tengah perjalanan, dengan alasan shalat Ashar bukanlah inti dari sesuatu yang dikehendaki Nabi ﷺ.
Baca Juga: Ahlusunnah wal Jamaah sebagai Manhajul Fikri dalam Islam
Kedua, banyak lafadz-lafadz dari sumber Nash (al-Qur’an dan Hadis) bersifat dzanni. Ketiga, piranti kebahasaan dalam bahasa arab bermacam-macam, sehingga memberi peluang untuk banyak penafsiran. Contohnya seperti; lafaz hakikat, majaz, kinayah, dan lain sebagainya.
Keniscayaan perbedaan pendapat ulama adalah suatu rahmat. Sebagaimana hadis di atas, perbedaan pendapat para shahabat mendapat legitimasi dari Nabi Muhammad ﷺ. Sehingga hal ini dapat dijadikan rujukan terhadap keniscayaan perbedaan pendapat. Dalam hal ini Umar bin Abdul Aziz berkata: “Aku tidak suka seandainya para shahabat Rasulullahﷺ tidak berbeda pendapat. Sebab seandainya hanya ada satu pendapat saja, maka manusia berada dalam kesusahan”.[1]
Akan tetapi, suatu keniscayaan perbedaan pendapat ini hanya terjadi dalam ranah furu’iyah saja, yang tidak sampai menyentuh kedalam ranah ushuluddin. Alasannya adalah, karena ranah ushuluddin itu bersumbar dari dalil-dalil yang paten (qath’i), sehingga tertutup ruang untuk berijtihad di dalamnya. Sedangkan ranah furu’iyah bersumber dari dalil-dalil yang sangkaan (dzanni), yang memberikan peluang untuk berijtihad di dalamnya. Oleh karena itu, harus ingkar jika ada seorang yang pendapatnya tidak sesuai dengan dalil qath’i (ushuluddin). Dan tidak perlu diingkari jika seorang berbeda pendapat dengan sesuatu yang dalilnya dzanni (furu’iyah). Sehingga ada kaidah fikih yang berbunyi:
لاينكر المختلف فيه وانما ينكر المجمع عليه
“Sesuatu yang di dalamnya masih diperselisihkan, tidak perlu diingkari, yang perlu diingkari adalah sesuatu yang sudah disepakati”.[2]
Baca Juga: Antara Mati dan Hidup Kembali?
Maka sikap Ahlusunnah seharusnya adalah saling menghargai dan membuang sifat fanatik. KH. Hasyim Asy’ari berkata tentang hal ini “Wahai ulama yang fanatik terhadap mazhab-mazhab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap perkara-perkara furu’, yang mana para ulama telah memiliki dua pendapat yaitu: setiap mujtahid benar, dan pendapat satunya mengatakan; mujtahid yang benar itu satu, akan tetapi pendapat yang salah tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang mematikan ini”.[3]
Selain membuang sifat fanatik, sikap Ahlussunnah adalah saling tolong-menolong dalam hal yang disepakati dan saling menghormati dalam hal yang diperselisihkan. Sebab dengan cara ini umat Islam dapat memperkuat hubungan ukhuwah Islamiyah, dan bersama-sama menghadapi musuh Islam yang berbahaya, seperti kebodohan, kedzaliman, kemiskinan, kristenisasi, dan lain-lain. Oleh karena itu, Dr. Yusuf al-Qardhawi berkomentar: “Problem umat Islam hari ini bukan mereka yang mensamarkan bacaan basmalah saat shalat atau yang mengeraskannya, atau bahkan yang tidak membacanya sama sekali. Bukan mereka yang menjulurkan tangannya saat shalat atau yang menggenggamnya, mengangkat kedua tangan ketika rukuk atau tidak mengangkatnya, dan perkara khilafiyah yang sudah biasa kita dengar. Tapi problem kita yang sesungguhnya adalah bagaimana mengajak saudara-saudara kita yang masih enggan bersimpuh rukuk bahkan sama sekali tidak pernah menyentuhkan jidatnya ke bumi untuk bersujud menyembah Allah.”[4]
Kesimpulannya, Ahlusunnah menyikapi ulama yang berbeda pendapat dengan membuang sifat fanatisme. Sehingga dapat memunculkan saling tolong-menolong dan saling menghormati, tapi dalam titik tekan yang bisa ditolerir adalah ranah furu’iyah.
Ridwan I Annajahsidogiri.id
[1] Syaikh Muhammad ‘Awwamah, Adab al-Ikhtilaf fi Masail ad-Din, hlm.34
[2] Sayyid Abu Bakar bin Abul Qasim, al- Faroid al-Bahiyah, hlm.112
[3] KH. Hasyim Asy’ari, At-Tibyan fi an-Nahyi ‘an Muqata’atil-Afham wa al- Aqarib wa al-Ikhwan, hlm.33
[4] Yusuf al-Qardhawy, As-Shahwah al-Islamiyah Bayna al-Ikhtilaf al-Masyru’ wat Tafarruq al-Madzmum, hlm.91