Ada hal menarik saat membaca bait kelima Aqîdatul-Awam. Bait itu sekaligus menjadi nazam pembuka yang membahas seputar ketuhanan. Nazam itu berbunyi:
وَبَـعْـدُ فَاعْلَمْ بِوُجُوْبِ الْمَعْرِفَـهْ ۞ مِنْ وَاجِـبٍ ِللهِ عِـشْرِيْنَ صِفَـهْ
“Waba’du, ketahuilah bahwa (orang mukalaf) wajib mengetahui 20 sifat yang wajib kepada Allah.”
Keunikan itu terletak dalam kata i’lam, yang bararti ketahuilah. Syekh Nawawi, Banten dalam Nurûdz-Dzalam (hal. 33) menjelaskan bahwa Syekh Ahmad bin Muhammad al-Marzuqi, mushanif kitab Aqîdatul-Awam memulai dengan lafal i’lam, yang memiliki arti ketahuilah. Beliau mengatakan:
وإِنَّمَا عَبَّرَ النَّاظِمُ بِاعْلَمْ تَنْبِيْهاً لِلسَّامِعِ عَلَى أَنَّ مَا يُلْقَى إِلَيْهِ مِنَ الْقَوْلِ يَلْزَمُ حِفْظُهُ؛ لِأَنَّهُ أَصْلُ كُلِّ خَيْرٍ وَإِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ كَسْبَ الْعِلْمِ أَفْضَلُ الْأَكْسَابِ
“Nadzim kitab ini menggunakan lafal i’lam sebagai pengingat bahwa apa yang akan diutarakan setelahnya merupakan merupkan sesuatu yang harus dijaga, karena hal itu merupakan asal dari segala kebaikan. Hal ini juga menjadi isyarah bahwa mencari ilmu adalah pekerjaan terbaik.”
Nurûdz-Dzalam (hal. 33)
Kenapa ini menjadi asal dari segala kebaikan?
Jawabannya jelas, bahwa nadzîm hendak mengutarakan kewajiban makrifat kepada sifat Allah dan rasul-Nya yang mana orang mukalaf wajib mengetahuinya.
Pengertian makrifat (pengetahuan) kepada sifat Allah ialah, sebagaimana dalam kitab Jalâul-Afhâm Syarh ‘Aqîdatul-Awam (hal. 21-22) di sana dijelaskan:
حَقِيْقَةُ المعْرِفَةِ: الجَزْمُ الموَافِقُ لِلْحَقِّ عَنْ دَلِيْلٍ وَلَيْسَ بِتَقْلِيْدٍ لِمَنْعِهِ فِيْ عِلْمِ العَقَائِدِ إِنْ كَانَ فِيْ المقَلِّدِ أَهْلِيَةٌ لِلنَّظَرِ.
“Hakikat mengetahui ialah: keyakinan yang benar berdasarkan dalil, serta tidak taqlid, karena dalam urusan akidah taqlid tidak diperbolehkan, bagi yang mampu berpikir”
Jalâul-Afhâm Syarh ‘Aqîdatul-Awam (hal. 21-22)
Imam Sanusi dalam Syarh Ummul-Barâhîn-nya (hal. 53-54) menjelaskan bahwa keimanan seseorang bisa tahqîq, bilamana sudah makrifat. Beliau menjelaskan:
يَجِبُ شَرْعًا عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ وَهُوَ البَالِغُ العَاقِلُ أَنْ يَعْرِفَ مَا ذُ كِرَ لِاَنَّهُ بِمَعْرِفَةِ ذَلِكَ يَكُوْنُ مُؤْمِنًا مُحَقِّقًا لِاِيْمَانِهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ فِى دِينِهِ
“Wajib secara hukum syariah bagi orang mukalaf—yaitu orang yang baligh dan berakal—mengetahui (sifat wajib, mustahil, jaiz kepada Allah dan rasul-Nya), karena dengan mengetahui sifat tersebut, seseorang bisa dikatakan mukmin yang tahqîq atas keimanannya, dengan pengetahuan yang berdasarkan dalil dalam agama”
Syarh Ummul-Barâhîn (hal. 53-54)
Ada pula ulama yang mengatakan bahwa makrifat itu adalah iman itu sendiri. Dalam Hasyiyah ad-Dasûqi (hal. 53), Imam ad-Dasuqi mengatkan:
وَاعْلَمْ أَنَّ الإِيْمَانَ قِيْلَ هُوَ المَعْرِفَةُ أى الاِعْتِقَادُ الجَازِمُ النَاشِئُ عَنْ دَلِيْلٍ بِاَنَّ سَيِّدِنَا مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإنمَا جَاءَ بِهِ حَقٌّ
“Ketauilah ada ulama yang mengatakan bahwa iman itu merupakan makrifat, yakni meyakini dengan dalil bahwa Nabi Muhammad itu Rasulullah, dan segala yang datang darinya (termasuk sifat Allah) berupa kebenaran.”
Hasyiyah ad-Dasûqi (hal. 53)
Alhasil, sangat wajar bila Syekh Nawawi, Banten mengatakan bahwa makrifat merupakan muara dari segala kebaikan, lantaran seseorang bisa beriman dengan sempurna, bila sudah makrifat. Semoga bermanfaat!
Muhammad ibnu Romli | Pemred Annajahsidogiri.id