Empat bulan yang lalu, tepatnya tanggal 10 bulan Juni, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengadakan diskusi yang mereka sebut ‘Focus Group Discussion’ (FGD) dengan tema, “Bahaya Virus Terorisme sebagai Ancaman untuk Masyarakat.” Hadir sebagai salah satu pembicara, Imam Masjid Istiqlal, Prof. Nasaruddin Umar.
Ada dua hal yang menjadi perhatian banyak orang dari penyampain beliau dalam acara itu, bahwa: (1) Kebanyakan isi kitab Fikih adalah produk perang Salib, karena itu ada konsep pembagian negara menjadi dârul-Islâm dan dârush-shulhi, dan (2) Ada kaitan erat antara Fikih dengan radikalisme. Atau bisa jadi, Fikih adalah penyebab adanya paham radikalisme. Karena itu, untuk menangkal paham radikalisme, menurut beliau, perlu ada pengkajian ulang pada kitab Fikih. Berita tentang hal ini banyak tersebar di internet (serta beberapa kritikan), tapi mayoritas merujuk pada salah satu berita dari CNNIndonesia.com berjudul, “Imam Istiqlal Sebut Kitab Fikih Saat Ini Produk Perang Salib.”
Pernyataan Tidak Berdasar
Meski judul dari berita lebih fokus pada pernyataan beliau yang menyebut Fikih produk perang Salib, sebenarnya yang menjadi pokok tujuan beliau dalam penyampaianya – jika kita pahami dari isi berita yang ada – adalah pemberantasan radikalisme dengan mengkaji ulang kitab Fikih. Karena itu, tulisan ini akan fokus pada hal itu saja. Sedangkan pernyataan Beliau yang menyebut kebanyakan isi kitab Fikih adalah produk perang salib jelas tidak benar. Perang Salib terjadi delapan kali mulai dari tahun 1096 sampai 1254 Masehi (catatan kaki Api Sejarah, I/74). Sedangkan Fikih – dalam artian syariat Islam mencakup ibâdah, mu’âmalah, munâkahah, jinâyat dll – sudah ada sejak masa Rasulullah pada abad ketujuh Masehi.
“Imam Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengusulkan pemerintah untuk mengkaji ulang pelajaran fikih di pondok pesantren jika hendak menangkal paham radikalisme.” (CNNIndonesia.com, 10/06/20)
Baca Juga: Siapa yang Moderat? Siapa yang Radikal?
Secara ilmiah, usulan beliau tidak bisa diterima. Karena tidak berdasarkan dalil yang kuat. Beliau tidak meyebutkan bagian Fikih mana yang menjadi penyebab orang berpaham radikalisme, hingga hal itu kemudian menjadi penuntut utama pengkajian ulang Fikih. Beliau hanya menyebutkan satu bagian dari kitab Fiqih, yaitu pembagian negara. Tanpa menjelaskan lebih lanjut apa kaitannya dengan paham radikalisme.
Apakah pernah terjadi kasus ada orang berpaham radikalisme karena Fikih? jika benar adanya apakah itu murni berasal dari Fikih (yang berakibat harus merombak Fikih), atau sekadar pemahaman keliru sehingga mengakibatkan dia berpaham radikalisme? Jika kasus yang ada adalah orang itu berpaham radikalisme karena pemahamanya yang keliru, kenapa kita harus mengkaji ulang Fikih? Selama pertanyaan ini belum terjawab, maka pernyataan beliau belum tentu benar.
Dalam merumuskan mabadi’ asyrah (sepuluh poin pengantar ilmu dalam khazanan Islam) ilmu Fikih, ulama menyebutkan bahwa salah satu faedah mempelajari ilmu Fikih adalah taat sepenuhnya kepada Allah dan menjauhi segala larangannya. Bahkan, pada puncaknya, Fikih bisa menjadi pegangan dalam mengelola kehidupan agar bisa selamat dunia akhirat (Tuhfatul-Muhtâj, I/20). Tentu faedah ini akan tercapai, jika mempelajari dan memahami fikih dengan cara yang benar.
Jika beliau masih ngotot kalau Fikih menjadi dalang penyebab paham radikalisme, sehingga mengharuskan perombakan, maka sebenarnya tidak ada bedannya antara beliau dengan orang yang (andaikan ada) melakukan tindakan radikalisme atau sekadar berpaham radikalisme karena Fikih. Sebabmereka sama-sama keliru dalam memahami Fikih.Wal-lâhu a’lam.
Badruttamam|Annajahsidogiri.id