Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyah, begitulah nama familiar beliau dalam berbagai kitab jamak ulama. Pentolan ulama asal Harran, Baghdad, ini memiliki kecerdasan di luar rata-rata. Hal itu terlihat sejak beliau masih berumur jagung. Ketika umurnya belum genap belasan tahun, ia sudah hapal kalam al-Qur’an secara sempurna, ribuan redaksi hadis, sekaligus memahami seluk-beluk ilmu ushul ad-din.
Hanya saja, Selain memiliki kepiawaian lebih dalam menguasai disiplin beragam ilmu, Imam Ibnu Taimiyah ternyata memiliki sisi hidup yang penuh dengan berbagai landasan pendapat dan pemikiran akidah yang amat fatal, juga kontroversial.
Baca Juga: Respon Imam Subki kepada Ibnu Taimiyah
Dalam tulisan ini, setidaknya ada lima kesalahan akidah Imam Ibnu Taimiyah yang sesat-menyesatkan. Berikut penulis uraikan;
Pertama, dalam masalah keyakinan (I’tiqad), Imam Ibnu Taimiyah merupakan sosok ulama yang berpandangan kaku dalam memahami al-Qur’an dan hadis. Dengan kata lain, beliau adalah sosok ulama tektualis, ulama yang memaknai al-Qur’an dan hadis sesuai dengan makna zahirnya (Ba’du Afkâri Ibni Taimiyah. Hal 27)
Terlebih, dalam kitab Majmu’ al-Fatawa–nya, beliau mengatakan;
وَمَنْ قَالَ إِنَّ ظَاهِرَ شَيْئٍ مِنْ أَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ غَيْرُ مُرَادٍ فَقَدْ أَخْطَأَ
“Seseorang yang mengatakan ‘jika secara zahir nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah bukan inti’, maka ia telah keliru dalam memahami teks al-Qur’an ataupun hadis. (Majmu’ al-Fatawa Liibni Taimiyah. 6/358)
Lebih parah lagi, beliau juga tidak ingin menakwil satu pun dari ayat-ayat mutasyabihat yang terdapat dalam al-Qur’an. Alasannya, takwil pada ayat-ayat mutsabihat tak ubahnya mendistorsi kalam Allah.
Kedua, menyifati Allah sesuai dengan sifat-sifat yang termaktub dalam al-Qur’an maupun hadis. Pendapat beliau yang kedua ini masih memiliki kaitan dengan pendapat yang pertama. Artinya, ketika Syekh Ibnu Taimiyah menemukan redaksi al-Qur’an atau hadis yang menjelaskan sifat-sifat Allah maka ia akan memaknainya sesuai dengan makna hakiki, bukan makna majaz. Sebagai contoh lafal يَدٌ yang bermakna tangan. Maka dalam memahami redaksi tersebut, Imam Ibnu Taimiyah mengartikan يَدٌ sesuai dengan makna hakikatnya atau makna aslinya (يَدٌ bermakna tangan). Dari pemahaman inilah, menurut beliau ‘tangan Allah’ itu tak ubahnya tangan-tangan pada umumnya, yakni tangan yang bisa mengambil, memberi, menangkap, melambai-lambai, dll.
Baca Juga: Komentar Tentang Maulid; dari Imam as-Suyuthi hingga Ibnu Taimiyah
Ketiga, Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa semua sifat-sifat fi’liyah Allah adalah sifat yang baru (hâdits). Sifat-sifat fi’liyah tersebut menetap dalam Dzat Allah. Oleh kerena itu, secara tidak langsung, Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa sifat ‘bergerak, diam dll’ menetap dalam Zat Allah, yang secara otomatis, beliau juga berkeyakinan bahwa Allah bersifat dengan sifat-sifat yang baru, macam bergerak, diam dan lain-lain.
Keempat, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa alam semesta ini termasuk sesuatu yang tidak ada awalnya (qadîm). Pendapat ini persis dengan pendapat filsuf-filsuf Yunani. Tentu saja pendapat ini sangat ngawur dan tidak mendasar, sebab yang pasti, satu-satunya Zat yang berhak dan wajib memiliki sifat qadîm hanyalah Allah I. Allah-lah satu-satunya Zat yang tidak ada awal-Nya dan tidak ada sesuatu apa pun yang dapat mengawali Zat-Nya. Hal itu bisa kita ketahui dari ayat al-Qur’an berikut;
هُوَ الأَوَّلُ وَالأَخِيْرُ وَالظَّاهِرُ وَالبَاطِنُ
Ialah satu-satunya Zat yang Maha Pertama, Maha Akhir, Maha Zahir dan Maha Batin (al-Hadid: 03)
Maka tentu, jika seandainya ada sesuatu selain Allah yang juga bersifat qadîm maka hal itu pasti muhal, karena tidak mungkin ada dua zat yang sama-sama qadîm. Tentu, ketika alam semesta ini bersifat qadîm maka ia sama sekali tidak butuh kepada Zat yang menciptakannya, sedangkan yang kita ketahui bersama, Allah-lah Zat yang menciptakan segalanya dan segala sesuatu butuh kepada Allah I. Bukan sebaliknya. (Tuhafatul-Murîd Syarh Jauharatut-Tauhîd. Hal 65)
Kelima, cara pandang Ibnu Taimiyah dalam masalah hukum ‘adi (seperti api dapat membakar, air dapat menyegarkan, nasi dapat mengenyangkan dll) itu persis satu frekuensi dengan pemikiran filsuf muslim dan juga Maktazilah. Ibnu Taimiyah berkeyakinan bahwa api dapat membakar lantaran terdapat kekuatan yang Allah I letakkan di dalam dzatiyah api itu sendiri. Atas dasar cara pandang inilah, sebagian ulama mutakallimin menghukumi kafir bagi pelakunya. Namun, berdasarkan pendapat yang sahih ulama menyatakan bahwa cara pandang ala Muktazilah dan Ibnu Taimiyah ini tidak sampai menjadikan pelakunya keluar dari Islam. (Hasyiyah ad-Dasuqi Ala Umm al-Barahin. Hal 40).
Khoiron Abdullah | Annajahsidogiri.id