Moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengurangan kekerasan atau penghindaran dari keekstreman. Dalam Bahasa Arab, moderasi dikenal dengan sebutan wasathiyah. Imam ar-Razi (W. 604 H) dalam Mafâtîhul-Ghâib, ketika menafsiri surah al-Baqarah ayat 143 beliau berkata, “Moderat adalah jalan tengah antara ifrath (melampaui batas) dan tafrith (ekstrem).” Dari takrif barusan, bisa kita tarik benang merah bahwa moderasi adalah langkah tengah untuk mengahindari dua kubu kelewatan.
Dalam teologi Aswaja, dua kelompok ini sering dikait-kaitkan dengan Jabariyah dan Qadariyah. Jabariyah meyakini bahwa dirinya memiliki kekuasaan penuh dalam mengontrol segala hal. Sedangkan Qadariyah berkeyakinan sebaliknya, menganggap bahwa yang berkuasa atas segala sesuatu adalah Allah, tanpa ada sedikitpun ikhtiar dari makhluk. Ahlusunah menengahi kedua kubu tersebut dengan berkeyakinan bahwa di balik takdir Allah, juga ada ikhtiar manusia yang ikut berperan.
Tapi bukan moderasi dari Qadariyah dan Jabariyah yang Nahdlatul Ulama (NU) tekankan, melainkan moderasi dari kelompok yang terlalu kaku dalam memahami Agama (ekstrem kanan), sehingga sering memahaminya secara tektualis, dengan kelompok yang terlalu longgar dalam beragama (ekstrem kiri), sehingga menghasilkan pemahaman liberal.
Hal ini bisa kita ketahui dari penjelasan KH. Drs. Zainal Arifin Junaidi, Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU, saat penyelenggaraan Workshop dan Pelatihan Moderasi Beragama untuk Guru SMA/SMK di Tasikmalaya, Jawa Barat (17-19/11/21):
“Moderasi Beragama menjadi solusi jalan tengah dalam memahami dan mengamalkan Agama di tengah kemajemukan bangsa. Oleh karena itu, pemahaman keagamaan tidak boleh terlalu tekstual. Sebab, akan menghasilkan pemahaman keagamaan yang konservatif. Selain itu, juga tidak boleh terlalu kontekstual karena akan menghasilkan pemahaman agama yang liberal.”
Kelompok ekstrem kanan ataupun ekstrem kiri sama-sama tak dapat dibenarkan. Maka dari itu, NU hadir di tengah-tengah umat Islam Indonesia sebagai penengah dari dua kelompok tersebut.
Kekakuan kelompok ekstrem kanan dalam memahami teks keagamaan misalnya dalam masalah jihad. Mereka beranggapan bahwa jihad harus perang. Landasan dalil yang sering dipegang adalah hadis riwayat an-Nasai yang berbunyi, “Jihad yang paling utama adalah perkataan yang hak kepada pemimpin yang zalim.”
Apakah benar jihad mesti perang? Jawabannya adalah tidak. Jihad tak harus perang. Jihad bisa dilakukan dengan cara apapun asalkan berupa pengorbanan di jalan Allah. Syaikh Ramadhlan al-Buthi (W. 1434 H) dalam kitab Fiqhus-Sîrah (hal. 185) menjelaskan tentang hakikat makna jihad:
“Makna jihad adalah pengorbanan yang serius di jalan Allah, untuk meninggikan Agama Allah, serta untuk menciptakan lingkungan yang Islami. Pengorbanan yang bersifat perang itu satu macam dari beraneka ragam jihad.”
Jadi perang hanyalah bagian dari beraneka ragam jihad, bukan esensi dari jihad itu sendiri. Maka bisa saja menaknai jihad dengan pembelajaran, dakwah, dll yang intinya mengarah pada penciptaan lingkungan yang Islami, sebagaimana yang dipaparkan Syekh Ramadlhan al-Buthi barusan.
Namun, berang melawan ekstrem kanan, jangan sampai loyo melawan ekstrem kiri. Ekstrem Kiri malah lebih tampak bahayanya, bahkan mulai menonjolkan taringnya akhir-akhir ini. Saking longgarnya mereka dalam beragama sampai-sampai menggores tatanan syariat Islam sedikit demi sedikit.
Beberapa waktu lalu, misalnya, sempat viral masalah nikah beda agama. Salah satu aktivis JIL (Jaringan Islam Liberal) mendukung hal itu bahkan mengatakan bahwa Islam memperbolehkan nikah beda agama. Lalu ia mengutip surah al-Ma’idah ayat lima yang berbunyi, “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”
Menurutnya, Ahli Kitab cakupannya sangat luas, bahkan meliputi agama-agama yang ada di Indonesia, seperti Hindu, Buddha, Konghucu, dan Shinto. Jadi boleh menikah beda agama dengan dalil kebolehan menikahi Ahli Kitab sebagaimana yang tertera dalam ayat di atas.
Sungguh pernyataan demikian itu sangatlah lucu. Padahal Ahli Kitab tidak sama dengan nonmuslim. Hukum menikahi nonmuslim jelas haram sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 221.
Cukuplah kiranya bukti bahwa nonmuslim zaman sekarang, lebih-lebih selain Yahudi dan Nasrani, bukanlah Ahli Kitab, yakni penjelasan Syekh Zakariya al-Anshari (W. 926 H) dalam kitab Tahrîru Tanqîhil-Lubâb fî Fiqhil-Imâm asy-Syâfii (hal. 96) berikut:
“(Haram dan batal) menikahi perempuan nonmuslim selain Ahli Kitab yang murni. Bedahalnya dengan mereka, yakni perempuan Israiliyah, maka boleh menikahinya, selagi bebuyutnya tidak memasuki agama Yahudi dan Nasrani setelah dinasakh … Juga boleh menikahi perempuan Samirah (penyembah patung anak sapi) dan Sabiah (penyembah berhala asalkan berakidah sama sebagaimana akidah Yahudi dan Nasrani [sebelum didistorsi]).”
Andaikata mereka beralasan, “Samirah, Sabiah, dan agama-agama lainnya masih berakidah sebagaimana Yahudi dan dan Nasrani yang murni”, tentu ini sangat tidak masuk akal. Sebab kitab suci mereka; Taurat dan Injil, sekarang telah mengalami distorsi, sebagaimana penjelasan Syekh Tohir bin Saleh al-Jazairi (W. 1338 H) dalam kitab al-Jawâhir al-Kalâmiyyah (hal. 34-36).
Dari pemaparan di atas, semakin jelas akan bahaya kedua kelompok tersebut. Untuk itu, NU harus tegar melawan ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, demi mewujudkan moderasi yang hakiki.
Ghazali | Annajahsidogiri.id