Suatu ketika Abdullah mendatangi Nabi yang ketika itu sedang berkumpul dengan para shahabatnya. Lalu ia menyampaikan keperluannya bahwa ia hendak meminta gamis Nabi sebagai bahan kafan untuk sang ayah yang baru saja meninggal. Nabi pun memberikannya. Selain itu, Abdullah bin Ubay juga meminta agar Nabi ikut serta menyalati ayahnya, Nabi pun mengiyakannya.
Mengetahui hal tersebut, Sayidina Umar berdiri dan bertanya secara halus kepada Rasul, ‘Ya Rasulallah, apakah engkau hendak menyalatinya? Sedangkan Allah telah melarangmu untuk menyalatinya’ Nabi menjawab, ‘Allah tidak melarangku, melainkan memberikan pilihan padaku.’ ‘Dia orang munafik, Rasul!’ Kata Sayidina Umar. Namun Nabi tetap menyalatinya hingga turunlah ayat yang berisi teguran dari Allah, ‘Janganlah engkau menyalati seseorang yang mati di antara mereka selama-lamanya.’
***
Cerita di atas termaktub dalam kitab Shahîh Bukhâri, hadis no. 4670. Dari hadis ini, banyak ulama mengambil dalil akan keharaman mendoakan orang kafir yang telah meninggal agar mendapat magfirah atau ampunan. Sayid Abu Bakar Usman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bakri dalam kitab I’ânatuth-Thâlibîn (2/153) menjelaskan akan keharamannya:
(قَوْلُهُ: وَتَحْرُمُ صَلَاةٌ عَلَى كَافِرٍ) أَيْ بِسَائِرِ أَنْوَاعِهِ، حَرْبِيًّا كَانَ أَوْ ذِمِّيًا، أَوْ مُعَاهَدًا، أَوْ مُسْتَأْمَنًا. (قَوْلُهُ: لِحُرْمَةِ الدُّعَاءِ لَهُ) أَيْ لِلْكَافِرِ. (وَقَوْلُهُ: بِاْلَمغْفِرَةِ) أَيْ وَالصَّلاَةُ تَتَضَمَّنُ الدُعَاءُ لَهُ بِهَا.
“Haram menyalati orang kafir, baik kafir Harbi, Dzimmi, Mu’ahad dan Musta’man.Sebab haram mendoakannya dengan ampunan. Dan salat masuk pada cakupan doa. (Sehingga tidak boleh menyalatinya).”
Begitu pun Imam an-Nawawi dalam kitabnya, al-Majmû’ Syarhul-Muhadzdzab (5\114):
وَأَمَّا الصَّلَاةُ عَلَى الْكَافِرِ وَالدُّعَاءُ لَهُ بِالْمَغْفِرَةِ فَحَرَامٌ بِنَصِّ الْقُرْآنِ وَالْإِجْمَاعِ
“Menyalati orang kafir dan mendoakannya agar mendapat ampunan hukumnya haram secara nas al-Quran dan kesepakatan ulama.”
Merujuk pada penjelasan di atas, maka mendoakan orang kafir dengan alasan apapun tidak diperbolehkan. Tak peduli apakah mayit tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan orang yang mendoakan atau tidak.
Andaikata mendoakan orang kafir dengan dalih rasa kasih sebab kerabat sendiri, harusnya Nabi lebih berhak mendoakan sang paman, Abu Thalib. Namun Allah melarang hal itu.
Imam as-Suyuthi dalam tafsirnya, ad-Durrul-Mantsûr fit-Tafsîril-Ma’tsûr menjelaskan bahwa Nabi dilarang mendoakan Abu Thalib, yang ketika itu menolak untuk melafalkan syahadat. Sehingga turunlah firman Allah berkenaan dengan Abu Thalib yang berbunyi:
إِنَّك لَا تَهْدِيْ مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ الله يَهْدِيْ مَنْ يَشَاء
“Sungguh engkau tidak dapat memberi petunjuk pada orang yang kamu kasihi, tetapi Allahlah yang (mampu) memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki.” (al-Qasas [28:56]).
Imam an-Nasafi dalam tafsirnya, Madârikut-Tanzîl wa Haqâiqut-Ta’wîl, juga mengatakan demikian:
“Nabi Muhammad bermaksud memohonkan ampun untuk Abu Thalib. Lalu turun ayat, ‘Tidaklah pantas bagi Nabi dan orang-orang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik, sekali pun kerabatnya.’Yakni tidak sah memohonkan ampunan kepadanya secara hukum Allah. ‘Setelah jelas bahwa mereka adalah penghuni neraka jahanam.’ Yakni setelah jelas bahwa mereka mati dalam kekufuran.”
Setelah jelas bahwa hukum mendoakan orang kafir adalah haram maka begitu pun hukum mentahlilinya. Sebab tujuan dari tradisi “tahlilan” adalah mendoakan mayit mukmin agar mendapat ampunan. Sedangkan mendoakan orang kafir hukumnya haram sebagaimana penjelasan barusan.
Ghazali | Annajahsidogiri.id
Comments 0