Ahlusunah meyakini bahwa Allah ﷻ harus berbeda dengan makhluk-Nya (muhkalafatuhu lil-hawaditsi). Allah ﷻ berfirman dalam al-Quran:
لَيْسَ كَمِثْلِه شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (Q.S. asy-Sura [11]:62)
Allah ﷻ ada tanpa bertempat. Menurut Dr. Alawi bin Hamid Ibnu Syihabud-Din, hal ini sudah menjadi konsensus ulama (Intabih, Dînuka Fî Khatr, hlm. 32). Sedangkan mahkluk (jirim) tunduk kepada hukum tahayuz atau bertempat, (Ummul-Barâhîn, hlm. 56). Akal kita tidak bisa menerima keberadaan makhluk tanpa bertempat.
Wahabi sayangnya malah terjebak kepada pemahaman hukum yang melekat kepada jirim dan malah menggunakannya untuk memahami Zat Allah ﷻ. Mereka meyakini Allah ﷻ berada di langit.
Konsekuensi Fatal Meyakini Allah ﷻ Bertempat
Dari ngotot-nya Wahabi meyakini Allah ﷻ bertempat, al-Albani sampai berkata, “Orang yang mengatakan Allah ﷻ tidak ada di dalam alam atau di luar alam, adalah pelaku bidah. Hal itu juga bisa megantarkannya kepada keyakinan Allah ﷻ tidak ada.” (Husnul-Muhajah, hlm. 3)
Dengan penjelasan demikian kita patut menduga bahwa al-Albani telah menyamakan Allah ﷻ dengan makhluk. Dia memaksa, bahwa segala sesuatu, Allah ﷻ sekali pun, jika ingin dikatakan ada, harus memiliki tempat.
Sebab kesimpulan Allah ﷻ bertempat adalah kesalahan–karana akan menimbulkan pemahaman Allah ﷻ sama dengan makhluk–, maka akan timbul pula beberapa kejanggalan-kejanggalan yang akibatnya fatal.
Kekacauan Pemahaman Zat Allah ﷻ
Sesuatu selain Allah ﷻ adalah hadis (keberadannya baru atau memiliki permulaan). Sedangkan zat Allah ﷻ itu qadim (keberadaan-Nya tidak ada permulaanya). Jika Allah ﷻ bertempat, di manakah tempat Allah ﷻ sebelum Ia menciptakan tempat? Jangan-jangan, karena terlalu memaksakan keyakinan ini, malah timbul pemahaman tempat juga qadim sebagaimana wujud Allah ﷻ, yang bagaimana pun, ini juga salah. (Aqidah Ahlisunah wal Jamaah, hlm. 54)
Bukan hanya itu. Masih banyak kemuskilan-kemuskilan lain yang tak jauh aneh dan absurd jika Allah dikatakan bertempat. Misalnya, jika Allah ﷻ bertempat, Allah ﷻ butuh kepada makhluk. Jika Allah ﷻ bertempat, ukuran Allah ﷻ lebih kecil dari tempat itu. Jika Allah ﷻ bertempat sebagaimana jirim, Ia harusnya juga ber-jisim.
Kontradiksi Nas
Orang-orang yang meyakini Allah ﷻ bertempat, biasanya berdalil dengan makna lahir firman Allah ﷻ, “(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy.” (Q.S. Taha [20]: 05). Padahal ayat yang secara lahir seakan menunjukkan Allah ﷻ bertempat bukan hanya ini. Misalnya beberapa ayat berikut:
وَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ…
“…..dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya ﷻ” (Q.S. Qaf [50]:16)
فَاَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللّٰه
“Kemanapun kamu menghadap di sanalah wajah Allah ﷻ” (Q.S. al-Baqarah [02]: 115)
Di antara ayat ini, mana yang paling akurat menunjukkan keberadaan Allah ﷻ? Atau misalnya seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
يَنَزِلُ اللَّهُ كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Setiap malam, Allah ﷻ (jika menggunakan makna lahir) ‘turun’ ke langit dunia.” (Sahihul-Bukhari, no. 1154)
Bagaimana gambaran Allah ﷻ turun setiap malam? Bukankah malam terjadi setiap saat walau pun berbeda tempat? Apakah ini berarti Allah ﷻ turun selama 24 jam non-stop? Katanya Allah ﷻ bertempat di Arys?
Kerancuan-kerancuan ini akan selesai saat kita melihat kaidah ulama, di antaranya Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Menurut para ulama, makna pemahaman ayat mutasyabihat, harus berdasarkan ayat muhkamat. Ayat nomor 62 surat asy-Syura menegaskan bahwa tidak ada sesuatu apa pun yang menyerupai Allah ﷻ, sehingga ayat yang seakan menunjukkan Allah ﷻ menyerupai makhluk (bertempat, bergerak, pindah tempat, dll), tidak bisa dipahami secara lahir, melainkan harus dipahami dengan pengertian yang sesuai dengan keagungan Allah ﷻ.
Badruttamam | Annajahsidogiri.id