Sahabat #serial aqidatul awwam yang dirahmati Allah ﷻ, pada serial kali ini kita akan membahas mengenai sifat mustahil bagi Allah ﷻ dan rasul dalam bait ke-14:
وَالْمُسْـتَحِيْلُ ضِدُّ كُلِّ وَاجِبِ * فَاحْفَظْ لِخَمْسِـيْنَ بِحُكْمٍ وَاجِبِ
”Adapun mustahil adalah lawan dari sifat yang wajib, maka hafalkanlah 50 sifat itu sebagai ketentuan yang wajib.”
Definisi Sifat Mustahil
Sifat mustahil adalah suatu sifat yang keberadaannya tidak dapat diterima oleh akal[1]. Hal ini mencakup segala suatu yang tidak masuk akal yang terjadi di lingkungan sekitar, baik yang Wujûdi (ketetapan yang bisa dilihat mata) ataupun tidak.
Sifat Mustahil bagi Allah ﷻ
Sifat mustahil bagi Allah ﷻ menunjukkan bahwa Allah ﷻ adalah Dzat yang maha sempurna dan tidak memiliki kekurangan sedikit pun. Allah ﷻ tidak sama dengan makhluk-Nya, dan tidak ada satupun makhluk yang menyerupai-Nya.
Makna sifat ‘Adam
Adam dalam bahasa Arab artinya tidak ada. Sifat mustahil adam bagi Allah ﷻ berarti Allah ﷻ tidak mungkin tidak ada dalam konsep kehidupan, sebab dialah Sang Pencipta alam semesta beserta isinya. Allah ﷻ memiliki sifat wujud yang artinya pasti ada, maka mustahil bagi Allah ﷻ memiliki sifat adam yang artinya tiada, sebab bila mana Allah ﷻ bersifatan adam lantas siapakah pencipta alam semesta ini?, mana mungkin alam semesta sebesar ini ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan, sebab segala hal yang ada di alam semesta ini hidup karena Allah ﷻ. Alhâsil, mustahil jika pencipta itu tidak ada dan bisa mewujudkan sesuatu yang tiada menjadi ada di zaman itu[2].
Sifat mustahil Adam bagi Allah ﷻ tercantum dalam surah Al-A’raf ayat 54:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ (الأعراف (٠٧) ٥٤)
“Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam”. (QS. Al-A’râf [07]: 54)
Juga dalam ayat berikut:
خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ تَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ (النحل (١٦) ٠٣)
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan kebenaran. Mahatinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. An-nahl [16]: 03)
Dapat dipahami dari dua ayat di atas bahwa Allah ﷻ yang menciptakan alam semesta dan isinya, bahkan Allah ﷻ yang mengatur segala hal yang terjadi di dalamnya. Maka, akal tidak mungkin menerima seandainya sang pencipta dan pengatur segalanya itu tidak ada. Wujud Allah ﷻ adalah hal yang niscaya, sedangkan ketiadaan adalah hal yang mustahil bagiNya.
Makna sifat Hudûst
Hudûst dalam bahasa Arab artinya baru, awal atau permulaan. Sifat mustahil hudûts berarti Allah ﷻ tidak ada yang mendahului, karena ada sebelum segala sesuatu ada. Jika Allah ﷻ memiliki sifat hudûst maka tentu akan menimbulkan tasalsul. Tasalsul sendiri adalah sesuatu yang membutuhkan hal lain dan hal lain itu butuh pada hal yang lain juga[3]. Allah ﷻ adalah permulaan dan mendahului segala yang ada, kemudian menciptakan yang ada atas kehendak dan kekuasaan Allah ﷻ di dunia dan alam semesta.
Sifat mustahil huduts pada Allah ﷻ tercantum dalam surah Al-Hadid ayat 3:
هُوَ الْاَوَّلُ وَالْاٰخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ (الحديد (٥٧) ٠٣)
“Dialah Yang Mahaawal, Mahaakhir, Mahazahir, dan Mahabatin. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadîd [57]: 03)
Dari sini kita tahu bahwa sifat ‘adam dan hudûst mustahil bagi Allah ﷻ karena sifat tersebut mentiadakan sifat salbiah-nya Allah ﷻ yang berupa wujûd dan qidâm. Wallahua’lam.
Dimas Aji Negara | Annajahsidogiri.id
[1] Syekh Ibrahim ad-Dasuqi, Ad-Dasuqi hlm.32 dan syekh Ibrahim al-Baijuri, Kifayatul-awwam hal.21
[2] Syekh Ibrahim al-Baijuri, Kifayatul-awwam hal.30
[3] Syekh Ibrahim al-Baijuri, Kifayatul-awwam hal.34