Ada kisah menarik seputar nisfu syakban ini. Sebagaimana riwayat dari Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, suatu malam, Sayidah Aisyah pernah tidak bersama Nabi, beliau mengira Nabi sedang bersama istri yang lain. Singkat cerita, Sayidah Aisyah menemukan Nabi sedang beribadah di masjid Baqi’. Melihat wajah Sayidah Aisyah yang tampak khawatir, Nabi pun bersabda:
إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَنْزِلُ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ اِلَى سَمَآءِ الدُّنْيَا يَغْفِرُ لِأَكْثَرَ مِنْ عَدَدِ شَعْرِ غَنَمِ كَلْبٍ
“Sesungguhnya Allah, Dzat Maha Suci dan Maha luhur mengampuni dosa yang lebih banyak ketimbang bulu-bulu kambing suku Kalb pada saat malam nisfu syakban”
Imam Ahmad bin Hanbal, Imam al-Baihaqi, Imam ath-Thabrani dan Ibnu Hibban meriwatkan hadis yang senada. Saking besarnya keutamaan malam Nisfu Syakban, sehingga sebagian ulama menamainya dengan malam berkah. Mâdzâ Fî Sya’bân (1/72).
Namun, masih saja pihak-pihak yang membidahkan tradisi Nisfu Syakban yang telah lama berlaku di tengah-tengah masyarakat. Semisal yasinan, ngaji bareng, dan amalan lain yang syariat melegalkannya. Tanpa lelah mereka semua berteriak bidah, padahal mereka sendiri adalah “kaum bidah”, sebab Nabi sendiri tidak pernah melarang langsung perayaan Nisfu Syakban, bahkan yang ada justru sebaliknya, Nabi menganjurkan umatnya agar mengisi malam Nisfu Syakban dengan ketaatan dan ibadah kepada-Nya. Sehingga bagi mereka, malam Nisfu Syaban memiliki istilah baru dengan, “festival teriak bidah”
Pekikan mereka bermacam-macam, ada yang sedikit ilmiah, semisal mempermasalahkan hadis tersebut sebab kualitasnya yang dhaif alias lemah. Ada juga yang tidak ilmiah sama sekali, seperti membidahkan yasinan tiga kali pada malam Nisfu Syakban hanya karena Nabi tidak pernah mengerjakannya.
Lalu bagaimana tanggapannya?
Dalam tulisan kali ini, kami tidak akan panjang lebar menyuguhkan dalil seputar hadis dhaif. Anda bisa membaca secara lengkap dalam tulisan Legalitas Pengamalan Hadis Dhaif (annajahsidogiri.id). Yang intinya adalah, boleh bahkan sunah mengamalkan hadis dhaif dalam hal keutamaan amal. Karena hadis Nisfu Syakban di atas penuh dengan anjuran memperbanyak amal, maka hadis ini bisa diterima.
Untuk masalah yang kedua hanya berangkat dari kejumudan berpikir mereka, yaitu memaksakan agar semuanya sama persis dengan apa yang Nabi lakukan. Menurut Ahlusunah, asalkan amalan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Nabi, meski beliau tidak pernah mengerjakannya, maka tidak masalah. Nalarnya sederhana, mustahil memaksakan kehidupan masyarakat yang terdiri dari mazhab yang berbeda-beda agar semuanya sama persis dengan apa yang Nabi lakukan. Bukankah pemaksaan semacam ini hanya akan membuat Islam terlihat mengerikan? Oleh karenanya, kita perlu memahami konsep Ahlusunah sebagaimana yang Imam Syafii sampaikan sebagai berikut:
“Setiap sesuatu yang ada landasan dalil dalam syariat, maka hal tersebut bukan termasuk bidah, meskipun belum pernah ulama salaf amalkan, karena sikap mereka yang meninggalkan pekerjaan tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi, atau karena ada amaliah yang lebih utama dari hal itu, atau barangkali hal tersebut belum mereka keatahui.”
Walhasil, sebagaimana penjelasan di atas, malam Nisfu Syakban adalah malam mulia dan malam berkah. Hanya gologan Wahabi saja yang berani berteriak-teriak dan mengklaimnya sebagai malam bidah.
Akmal Bilhaq | Annajahsidogiri.id