Sahabat #SerialAkidahAwam yang berbahagia. Kali ini, izinkan saya membahas sifat kodrat yang ada pada nazam yang berbunyi:
فَقُـدْرَةٌ إِرَادَةٌ سـَمْـعٌ بـَصَرْ * حَـيَـاةٌ الْعِلْـمُ كَلاَمٌ اسْـتَمَرْ
“Kemudian sifat kodrat, iradat, samak, basar, hayat, ilmu dan kalam secara terus berlangsung”
Kodrat merupakan sifat wujûdî, lantaran ia tergolong sifat ma’ânî. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa semua sifat ma’ânî merupakan sifat wujûdî. Dengan begitu, kita telah menemukan definisi singkat dari sifat kodrat, yaitu: sifat wujûdî yang ada pada zat Allah, yang “berfungsi” untuk menciptakan dan mentiadakan. Di dalam Syarah Tîjânud-Darârî (hlm. 22):
وَيَجِبُ فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى الْقُدْرَةُ وَهِيَ صِفَةٌ وُجُوْدِيَّةٌ قَدِيِمَةُ قَائِمَةُ بِذَاتِهَ تَعَالَى يُوْجِدُ تَعَالَى بِهَا وَيُعْدِمُ
“Dalam hak Allah wajib sifat kodrat, yakni sifat wujûdî kadim yang melekat kepada zat Allah yang berfungsi untuk menciptakan dan mentiadakan”
Untuk mengetahui kodrat lebih detail, kita perlu menganalisa ta’alluq (kaitan) dari sifat yang satu ini. Dalam kajian ilmu kalam dasar, terdapat kata ta’alluq yang memiliki dua arti yang berbeda. Pertama, ta’alluq yang berarti “fungsi”. Kedua, ta’alluq yang berarti “obyek” dari sifat tersebut. Keduanya, sama-sama bermakna kaitan, tetapi beda jalur. Contohnya sebagaimana berikut:
- Contoh ta’alluq memiliki arti obyek: sifat kodrat ber-ta’alluq kepada perkara mungkin. Maksudnya, obyek dari sifat kodrat adalah perkara mungkin.
- Contoh ta’alluq yang memiliki arti “fungsi”: sifat kodrat memilki ta’alluq shulûhî qadîm dan ta’alluq tanjîzî hadîts.
Ta’alluq Sifat Kodrat kepada Perkara Mungkin
Sifat kodrat ber-ta’alluq kepada semua perkara mungkin. Ta’alluq ini memiliki arti obyek dari sifat tersebut. Maka dari itu, sifat kodrat adalah sifat Allah menciptakan dan mentiadakan hanya kepada perkara mungkin. Tidak ber-ta’alluq kepada perkara wajib dan mustahil. mn
Kenapa hanya ber-ta’alluq kepada perkara mungkin? Jawabannya jelas: kodrat adalah sifat yang menciptakan atau mentiadakan. Nah, sebagaimana kita tahu, perkara wajib adalah sesuatu yang keberadaanya pasti. Bagimana mungkin sifat kodrat akan mengadakan sesuatu yang pasti ada. Bahasa yang sering dipakai adalah: nanti akan terjadi tahshîlul-hâshil, menghasilkan sesuatu yang sudah hasil. Itu jelas diluar nalar.
Begitu pun pula, sifat kodrat tidak ber-ta’alluq kepada perkara mustahil. Semisal, zat yang wajib ada, tentunya mustahil tiada. Dengan begitu, kodrat tidak berkaitan dengan mentiadakan perkara wajib. Karena kalau bisa ditiadakan, berarti keberadaannya jaiz, bukan wajib. Bahasa yang sering dipakai adalah: akan terjadi qalbul-haqâiq, mengubah kenyataan; yang semula keberadaanya wajib menjadi jaiz. Tentu ini juga diluar nalar.
Selaras dengan itu, Imam as-Sanusi dalam Syarh Ummul-Barâhîn (hlm. 103) menjelaskan:
وَاِنَّمَا لَمْ تَتَعَلَّقِ الْقُدْرَةُوَالْاِرَادَةُ بِالْوَاجِبِ وَالْمُسْتَحِيْلِ لِاَنَّ الْقُدْرَةَ وَاْلِارَادَةَ لَمَّا كَانَتَاصِفَتَيْنِ مُؤَثِّرَتَيْنِ وَمِنْ لَازِمِ الْاَ ثَرِ أَنْ يَكُوْنَ مَوْجُوْداً بَعْدَعَدَمٍ لَزِمَ أَنَّ مَالاَ يَقْبَلُ الْعَدَمَ أَصْلاً كَالْوَاجِبِ لاَيَقْبَلُ أَنْ يَكُوْنَ أَثَراً لَهُمَا وَاِلاَّ لَزِمَ تَحْصِيْلُ الْحَاصِلِ وَمَا لَايَقْبَلُ الْوُجُوْدَ أَصْلًا كَالْمُسْتَحِيْلِ لَايَقْبَلُ أَيْضًا أَنْ يَكُوْنَ أَثَرًا لَهُمَا وَاِلَّا لَزِمَ قَلْبُ الحَقَائِقِ بِرُجُوْعِ المُسْتَحِيْلِ عَيْنَ الجَائِزِ فَلَا قُصُوْرَ أَصْلًا بِعَدَمِ تَعَلُّقِ الْقُدْرَةِ الاِرَادَةَ القَدِيْمَتَيْنِ بِاْلوَاجِبِ وَالْمُسْتَحِيْلِ بَلْ لَوْ تَعَلَّقَ بِهِمَا لَزِمَ حِيْنَئِذٍ القُصُوْر لِاَنَّهُ لَزِمَ عَلَى هَذَا التَّقْدِيْرِ الفَاسِدِ أَنْ يَجُوْزَ تَعَلُّقُهُ لِاِعْدَامِ أَنْفُسِهِمَا بَلْ و اعْدَامِ الذَّاتِ العَالِيَةِ وبِإثْبَاتِ الأُلُوْهِيَّةِ لِمَنْ لَايَقْبَلُهَا مِنَ الْحَوَادِثِ
“Kodrat dan iradat tidak ber-ta’alluq kepada perkara yang wajib dan mustahil lantaran keduanya merupakan sifat ta’tsir (sifat penciptaan). Karena keduanya merupakan sifat penciptaan maka harus sesuatu yang diciptakan keberadaannya setelah ketiadaan. Kelazimannya, sifat penciptaan tidak masuk kepada perkara yang tidak menerima ketiadaan, seperti perkara wajib, maka perkara wajib tidak bisa diciptakan/ditiadakan oleh kodrat dan iradat. Kalau tidak, akan terjadi tahshîlul-hâshil.
Sifat penciptaan juga tidak bisa berkaitan dengan perkara yang tidak menerima keberadaan. Seperti perkara mustahil. Perkara tersebut tidak bisa diciptakan/ditiadakan oleh kodrat dan iradat. Kalau tidak, terjadilah qalbul-haqâiq (berubahnya kenyataan) dengan perkara mustahil berubah menjadi perkara jaiz.
Oleh karenanya, sama-sekali bukan merupakan sebuah kecacatan bila kodrat dan iradat yang kadim tidak berkaitan dengan perkara wajib dan mustahil. Justru meruipakan kecacatan bila kodrat dan iradat berkaitan dengan perkara wajib dan mustahul. Karena dengan menggunakan logika cacat tersebut (mengaitkan kodrat dan iradat kepada perkara wajib dan mustahil), akan menyebabkan jaiz kodrat dan iradat mentiadakan keduanya, bahkan jaiz pula menghilangkan zat Allah sendiri, dan jaiz pula menetapkan sifat ketuhanan kepada perkara hâdits yang jelas-jelas tidak menerima sifat ketuhanan.”
7 Ta’alluq Sifat Kodrat
Sifat yang satu ini juga memiliki tujuh ta’alluq, yang terbagi menjadi tiga ta’alluq, yakni shulûhî qadîm, tanjizi hadîts dan qabdhah. Ta’alluq jenis ini memiliki arti “fungsi” dari sifat tersebut. Perinciannya sebebagaimana berikut: 1 shulûhî qâdîm, 3 tanjîzî hâdits, dan 3 ta’alluq qabdhah. Semuanya, jika ditotal berjumlah 7.
Shulûhî Qâdîm
Sifat kodrat memiliki ta’alluq shulûhî qadîm. Ta’alluq shulûhî adalah: kelayakan Allah dalam menciptakan dan mentiadakan sesuatu, yang kelayakan ini azali; tidak berawal.
Penjelasan singkatnya, Allah sudah pantas berkuasa menciptakan kita, meski kita belum diciptakan. Kita tercipta, memang ada awalnya, tetapi kelayakan Allah untuk menciptakan kita, tentu tidak berawal.
3 Fase Tanjîzî Hâdits
Kodrat juga memiliki ta’alluq tanjîzî hâdits, yaitu ketika Allah menciptakan atau mentiadakan perkara mungkin. Ta’alluq ini jelasnya hâdits, karena tidak mungkin menciptakan sesuatu yang tidak berawal.
Seperti penciptaan Allah kepada kita. Keberadaan kita berawal. Nah, itulah ta’alluq tanjîzî hâdits.
Secara garis besar Allah menciptakan dan mentiadakan makhluk ada 3 fase. Fase pertama, ketika awal Allah menciptakan kita. Semisal, Allah menciptakan serta mentiadakan saya. Saya tercipta pada tahun 2002. Tanjîzî hâdist pertama kali, ialah pada tahun tersebut.
Fase kedua, ialah ketika saya meninggal dunia. Pada saat itulah, tanjîzî hâdits yang kedua. Fase ketiga ialah ketika saya dibangkitkan kembali. Saat itulah tanjîzî hâdits yang ketiga.
Kok, hanya tiga? Apakah berarti Allah sudah tidak mampu mentiadakan dan menciptakan kembali setelah itu? Pertanyaan semacam ini, persis dengan pertanyaan: apakah Allah mampu mentiadakan surga dan neraka, sehingga keduanya tidak kekal lagi?
Untuk menjawabnya, pertama ialah masalah kelayakan Allah dalam menciptakan dan mentiadakan itu tetap. Ingat, shulûhî dalam sifat kodrat itu kadim dan azali. Ingat, kata azali, apalagi kadim bila disematkan kepada Allah, itu tidak sedang membahas zaman, melainkan membahas perihal hal itu tidak berawal? Sampai kapan tidak berawal? Tidak ada akhirnya. Karena kalau berakhir, maka keberadaanya jaiz, bukan wajib. Sedangkan sesuatu yang keberadaanya jaiz, itu hanyalah sesuatu yang hâdits. Bagaimana mungkin satu hal tersebut bersifat qadîm dan hâdits dalam waktu yang bersamaan?
Kedua, pertanyaan di atas samahalnya mempertanyakan apakah Allah bisa tidak mengekalkan surga dan neraka. Karena keduanya tergolong perkara hâdits, tentunya jawabannya Allah sangat bisa tidak mengekalkan keduanya. Namun, hal itu tidak akan terjadi. Karena Allah telah mengabarkan dalam al-Quran bahwa surga dan neraka kekal. Jelasnya, kabar Allah tidak mungkin salah, mengingat kabar Allah sesuai dengan ilmu Allah. Jelasnya, ilmu Allah mustahil keliru.
Gampangnya, bagi kalian yang bisa mengendarai sepeda motor, kalian tentunya belum tentu saat ini sedang mengendarainya. Secara kenyataan, saat ini kamu tidak sedang mengendarai sepeda motor. Namun, kalau ditanyakan bahwa apakah kalian bisa mengendarainya? Tentu jawabannya: bisa. Namun, hal tersebut tidak dilakukan.
3 Fase Ta’alluq Qabdhah
Sifat kodrat juga memiliki 3 fase ta’alluq qabdhah. Fase pertama ialah ketika sesuatu belum tercipta, di sana ada ta’alluq qabdhah yang berupa: Allah bebas menentukan untuk melanjutkan ketiadaan sesuatu tersebut atau menciptakannya.
Setelah dengan ta’alluq tanjîzî hâdits (fase pertama) berupa sesuatu tersebut diciptakan, terjadilah fase kedua ta’alluq qabdhah fase kedua. Fase kedua ta’alluq qabdhah tersebut ialah Allah bebas menentukan apakah melanjutkan keberadaannya atau mentiadakannya.
Saat terjadi fase kedua ta’alluq tanjîzî hâdits yang berupa mentiadakan sesuatu, terjedilah fase ketiga ta’alluq qabdhah. Dengan kata lain, Allah bebas menetapkan ketiadaan sesuatu tersebut atau mengadakan kembali.
Untuk rentetan lengkapnya, kami temukan dalam Syarh Sanûsiyah, adikarya Imam al-Baijuri. Beliau mengatakan (hlm. 104-105)
فَتَلَخّصْ أَنَّ لِلْقُدْرَةِ تَعَلُقَيْن: أَحَدُهُمَا: صُلُوْحِي قَدِيْم؛ وَالآخَرُ: تَنْجِيْزِي حَادِث؛ لَكِنْ هَذَا عَلَى سَبِيْلِ الإِجْمَالِ. وَأَمَّا عَلَى سَبِيْلِ التَّفْصِيْلِ؛ فَلَهَا سَبْعَةُ تعلُّقَاتٍ: الأوَّلُ : الصُّلُوْحِي القَدْيمُ وَهُوَ صَلَا حِيَّتُهَا فِي الأَزَلِ لِلْإِيْجَادِ وَاْلإِعْدَامِ. وَالثَّانِي: كَوْنُ المُمْكِنِ فِيْمَا لَا يَزَالُ قَبْلَ وُجُوْدِهِ فِي قَبْضَةِ القُدْرَةِ بِمَعْنَى: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِنْ شَاءَ أَبْقَاهُ عَلَى عَدَمهِ وَاِنْ شَاءَ اَوْجَدَهُ بِهَا وَهُوَ مِنْ أَقْسَامِ تَعَلُّقَاتِ القَبْضَةِ. الثَّالِثُ: إِيْجَادُ اللَّهِ تَعَالَى الشَّيْءَ بِهَا فِيْمَا لَا يَزَالُ وَهُوَ مِنْ أَقْسَامِ تَعَلُّقِ التَّنْجِيْزِي الحَادِثِ. والرَّابِعُ: كَوْنُ المُمْكِنِ حَالَةَ وُجُوْدِهِ فِي قَبْضِةِ القُدْرَةِ؛ بِمَعْنَى: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِنْ شَاءَ أَبْقَاهُ عَلَى وُجُوْدِهِ وَإِنْ شَاءَ أَعْدَمَهُ بِهَا وَهُوَ مِنْ أَقْسَامِ تَعَلُّقَاتِ القَبْضَةِ. وَالخَامِسُ: إِعْدَامُ اللَّهِ الشَّيْءَ بِهَا وَهُوَ مِنْ أَقْسَامِ التَّعَلُّقِ التَّنْجِيْزِي الحَادِثِ. والسَّادِسُ: كَوْنُ المُمْكِنِ حَالَةَ عَدَمِهِ فِيْ قَبْضَةِ القُدْرَةِ؛ بِمَعْنَى: أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى إِنْ شَاءَ أَبْقَاهُ عَلَى عَدَمِهِ؛ وَإنْ شَاءَ أَوْجَدَهُ بِهَا وَهُوَ مِنْ أَقْسَامِ تَعَلُّقَاتِ القَبْضَةِ. وَالسَّابِعُ: إَيْجَادُ اللَّهِ الشَّيْءَ بِهَا حِيْنَ البَعْثِ؛ وَهُوَ مِنْ أَقْسَامِ التَّعَلُّقِ التَّنْجِيْزِي الحَادِثِ.
“Secara ringkas bahwa kodrat memiliki dua ta’alluq: shulûhî qâdim dan tanjîzî hâdits. Akan tetapi itu secara global. Secara perinci, kodrat memiliki 7 ta’alluq. Pertama, shulûhî qâdim, yaitu kelayakan ketika zaman azali (belum terciptanya sesuatu) untuk menciptakan dan mentiadakan. Kedua, perkara mungkin ada pada genggaman kodrat. Dengan arti, Allah bebas menetapkan ketiadaan barang tersebut atau menciptakan. Itu termasuk ta’alluq qabdhah.
Ketiga, Allah menciptakan sesuatu dengan kodrat-Nya. Itu tergolong tanjîzî hâdits. Keempat, ketika barang tersebut sudah tercipta, ada di genggaman kodrat. Dengan maksud, Allah bebas meneruskan keberadaannya atu mentiadakannya. Itu tergolong ta’alluq qabdhah. Kelima, Allah mentiadakan sesuatu. Itu tergolong tanjîzî hâdits.
Keenam, setelah ditiadakan, barang tersebut ada pada genggaman kodrat. Maksudnya, Allah bebas menetapkan ketiadaannya atau mengadakannya kembali. Itu tergolong ta’alluq qabdhah. Ketujuh, Allah menciptakan kembali, yakni ketika hari kebangkitan. Itu termasuk tanjîzî hâdits.”
Muhammad ibnu Romli | AnnajahSidogiri.ID